12.

645 16 0
                                    

"Padahal kan lebih baik kalau kita menunggu dan melahirkan bayi itu sesuai saran dokter ini. Pasti ibu juga bisa melihat bayi itu. Mungkin aku juga masih mau melahirkan anak lagi, sampai ibu mendapat cucu laki-laki sesuai keinginan ibu."

Gadis yang berkata dengan penuh emosi itu tidak kuasa menahan air matanya.

"Ibu dan aku terlalu egois, sehingga kita tidak mendapat rezeki anak laki-laki dari tuhan. Ibu juga tahu kan? Malah kita membuat dokter ini melakukan kesalahan. Sekarang, apa ibu tidak ingin berhenti menuntutku dengan masalah anak laki-laki? Memangnya ibu yakin akan menyanyanginya sepenuh hati seandainya anak itu pun lahir...."

Plak.

Ibu mertua itu melayangkan pukulannya ke pipi menantunya itu. Menantunya itu terlihat terkejut dan tidak bisa berkata apa-apa. Seketika itu juga, orang-orang di sekitar mereka langsung menatap ibu mertua itu dengan pandangan menuduh. Barulah ibu mertua itu sadar dengan perbuatanya dan menatap sekelilingnya dengan panik.

"Tutup mulutmu!"

Ibu mertua itu menatap menantunya tajam dan pergi meninggalkan tempat itu. Di tengah keramaian orang-orang yang berbisik membicarakan mereka, gadis itu perlahan mendekati Aom. Kemudian, perlahan ia menggengam tangan Aom yang masih berlutut itu.

"Maafkan aku. Seharusnya aku mendengarkan ucapan dokter. Meskipun anak itu perempuan, tapi bayi itu tetap anakku juga. Aku sesaat lupa akan hal itu karena khawatir menjadi menantu yang lagi-lagi tidak bisa memuaskan ibu mertua. Aku sibuk memikirkan diriku sendiri, tidak memikirkan bayi yang ada di dalam perut ini. Biar aku yang menanggung akibatnya. Aku benar-benar minta maaf."

Air mata jatuh menetes ke tangannya yang masih memegang erat tangan Aom. Lalu, air mata juga menetes dari mata Aom.

Tidak lama kemudian, sesuai arahan Batz, para perawat datang dan membawa gadis itu kembali ke kamarnya. Sementara itu, Aom tetap diam terpaku di lobi itu.

Kerumunan orang itu akhirnya perlahan bubar. Batz membantu Aom untuk berdiri dengan hati-hati. Aom sempat jatuh dan terduduk kembali, seolah tidak ada tenaga lagi di kakinya. Batz segera memapahnya dan Aom memegang lengan Batz erat dengan tangannya yang bergetar. Batz segera memeluk Aom dan mengajaknya ke ruang praktiknya. Saat itu, barulah Nae bisa bernafas lega, Sementara Luna tetap merekam adegan itu dengan kameranya. Nae menutup lensa kamera itu dengan tangannya.

"Sudah, jangan direkam lama-lama. Berikan sedikit privasi untuk dokter itu," Nae berkata pelan. Luna segera mematikan kamera dan mengeluarkan tape dari kamera itu dengan berat hati. PD Nam juga hanya diam mengawasi Aom yang pergi menjauh. Sekarang, bagaimana ia harus mengedit adegan itu? Bagaimana agar Aom dan pasien itu sama-sama tidak terluka? Nae merasa hatinya berat. Rasanya ia tidak tahan lagi ingin mengeluarkan hatinya dan membuangnya jauh-jauh.

Falling In Love ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang