#1

2.7K 216 33
                                    

"Di, pindah rumah yuk," pinta Ratih pada suaminya sambil memeluk Didi dari belakang.

Didi, si suami, menanggapi istrinya dengan penuh kesabaran, "Udah berapa kali kamu minta pindah. Ini yang kesepuluh, lho."

Wajah Ratih bersungguh-sungguh agar ditanggapi suaminya dengan benar. Biarpun usahanya baru sampai Didi hafal dengan jumlah permintaannya.

"Aku ga' paham sama permintaanmu, Tih. Permintaanmu itu semuanya kayak random aja gitu," kata Didi mengomel. "Waktu kita belum punya rumah, kamu pengen punya rumah yang besar, yang luas, yang dindingnya putih-putih. Sekarang, setelah kita punya rumah ini, kamu malah minta pindah terus."

"Iya sih, tapi...,"

"Tapi apa?" lanjut Didi. "Kita ini harus bersyukur. Bersyukur terhadap apa yang telah kita peroleh sekarang. Rumah ini hasil kerja keras aku mencari sana-sini. Kamu minta pindah seperti ini, aku anggap kamu ga' peka sama usahaku."

Ratih terdiam. Sudah jelas suaminya merasa dikecewakan.

"Paling engga kamu harus punya alasan lain kenapa kita harus pindah, Tih," ujar Didi mencoba menenangkan diri.

"Di, alasan aku sama―"

"Denger suara di dinding?!" sambung Didi, tensi suaranya meningkat lagi.

Mulut Ratih mengatup sambil mengangguk. Tentu dengan raut muka yang penuh kecemasan.

Mendengar alasan yang sama seperti itu, Didi meninggalkan istrinya menuju ruang tengah. Di atas sofa ia menyandarkan badan. Kakinya direntangkan sementara tangan kanannya mengurut kening.

"Ratih, meskipun kamu denger suara drumband sekalipun di ruangan itu malam-malam, aku tetap ga' denger suara yang kamu maksud."

Istrinya kecewa. Betapa ia ketakutan malam itu, suaminya tetap tidak mendengar suara di dinding itu.

"Masa, kamu ga' dengar sih, Di?"

Didi mengangkat pundaknya.

"Suaranya di kamar kita lho! Keras! Aku dengernya jelas banget," kata Ratih yakin.

"Coba, kapan kamu terakhir denger suara itu?" tanya Didi.

"Semalam antara jam sebelas sampai jam dua belasan,"

Rasanya Didi ingin tertawa keras kepada istrinya.

"Semalam? Aku masih bangun di ruang kerja sebelah kamar sambil ngerjain desain. Kalau pun suara itu keras. Aku pasti dengar."

"Dari kamar, Di, bukan di ruang kerjamu."

"Iya, ngga dengar! Tembok ruang kerja dan kamar kan sebidang, yang dipisah oleh pintu. Berdekatan lho itu. Ada suara dari kamar ya pasti kedengaran ke sebelah, dong."

"Tapi aku yakin, suara itu membuatku bangun," jelas Ratih sekali lagi.

"Ya, kalau kamu sampai bangun, kenapa ga' kamu cek suara itu dari mana."

"Nah itu aku juga bingung. Setelah aku bangun. Suara itu langsung hilang."

"Kamu yang denger aja bingung, apalagi aku, yang ga' dengar apa-apa."

Didi tertawa rendah alih-alih terbahak-bahak untuk menghindari ketidakpercayaannya pada cerita istrinya itu.

Ratih merasa mendengar jelas suara di dinding itu tetapi ia kesal terhadap reaksi suaminya karena ceritanya dianggap lelucon saja.    

Jangan Ketuk Pintu Rumah KamiDonde viven las historias. Descúbrelo ahora