His Glowing Freaky Eyes

114 7 2
                                    

Ok. Jadi pertama, siagnl minta maaf karena sempat menghapus cerita ini. Kenapa? Karena siagnl mau 'nulis ulang' dalam artian siagnl mau memperpanjang 'length' tiap bagian. Karena siagnl SADAR kalo siagnl kadang benci nulis panjang2. Takut nggak seru lagi gitu wkwk..
Daripada kebanyakan bicara..

On with the real part 1!
Have fun re-reading this weird story ;)

****

6 Maret 1989
Boston, Massachusetts

Hari ini ulang tahunku yang ke-17. Tidak ada perayaan megah seperti remaja lain pada umumnya. Yang bisa kulakukan hanya menatap jendela toko roti milik Nyonya Green dan berharap salah satunya berada di mulutku. Tubuh kecilku duduk dengan lemas di depan toko itu.

Aroma roti yang baru saja dipanggang membuatku tak tahan. Perut yang kosong mulai berteriak. Aku kembali bangkit dan melirik dari luar jendela. Nampak sebuah keluarga kecil sedang menyantap sarapan dengan bahagianya.

Keluarga.

Ingin sekali aku mempunyai keluarga yang tetap. Yang bisa menerimaku apa adanya, tanpa pandang bulu. Tapi itu mustahil. Hanya ada dua keluarga yang seperti itu dan Tuhan merebut mereka dariku. Haha, betapa adilnya hidup ini.

Hingga lamunanku buyar karena pandanganku yang jatuh pada dompet tebal di saku belakang seorang pria yang lewat di depanku. Pasti cukup untuk makan hari ini, atau mungkin lebih.

Dengan cepat, aku menyusul pria itu. Badannya gemuk, dan kutebak ia pasti tidak bisa berlari dengan cepat untuk mengejarku. Dia benar-benar tak sadar bahwa tebalnya dompet yang ia miliki, sampai hampir jatuh dari sakunya yang sempit itu.

Aku mengecek keadaan sekitarku lagi. Saat jalanan mulai sepi dan situasi mulai aman, tangan aku julurkan pada sakunya. Dan dalam sekejap mata, dompet tebal itu ada dalam genggamanku.

Namun, pria itu tiba-tiba berbalik sambil meraba sakunya yang kosong. Ia menatapku dengan geram. Wajahnya memerah seperti kepiting rebus di toko sebelah.

"TERIMA KASIH, TUAN!" Ucapku kemudian berlari meninggalkan pria itu secepat kilat. Napasku yang tersengal-sengal, dan energi yang perlahan mulai terkuras habis mengingat perutku yang belum terisi, namun tetap kulangkahkan kedua kaki ini. Yang penting dompet ini jadi milikku.

"Dasar pencuri! Sialan kau, berandalan kecil! Tunggu sampai aku menangkapmu!" Seruannya menggema di telingaku. Membuatku detak jantungku bertambah cepat, memompa darah ke seluruh jengkal tubuhku. Aku harus cepat.

Perlahan tapi pasti, aku mulai merasakan derap langkahnya yang semakin dekat. Suara sol sepatunya saat menyentuh tanah semakin jelas tertangkap oleh daun telingaku.

Hingga terpikirkan olehku, pria ini pasti tidak bisa menemukanku, jika aku bisa mengelabuinya agar masuk ke lorongku. Aku mengingat seluk beluk jalanan ini, bahkan semua jalan pintasnya seperti aku mengingat julukan yang diberikan anak-anak panti padaku. Tidak terlupakan.

Dan lelaki gendut itu semakin dekat. Kulihat pantulan di kaca-kaca toko, ia menjulurkan tangannya hendak meraih bahuku. Aku segera berbelok menuju sebuah gang agak besar. Ia sempat ketinggalan, namun dengan cepat ia kembali menyusulku.

Kami menyusuri gang dengan adrenalin yang memacu jantung ini, agar memompa lebih cepat. Mataku menangkap kereta belanjaan yang sudah karatan berisi gunungan sampah. Aku pun menggulingkannya dengan harapan pria itu akan terpeleset jatuh.

Namun ia berhasil menerobosnya.

Sialan.

Aku langsung berbelok menuju lorong  yang lain. Aku ingat betul kalau lorong ini dan lorongku hanya berbatasan dengan tembok yang sudah terbiasa untuk kupanjat. Bukan masalah besar.

The Lost RavenWhere stories live. Discover now