Twenty Two

12K 2.1K 325
                                    


Jun mencoba bangkit, mencabut jarum infus yang menusuk kulitnya.

"Jun, tenang dulu! Kamu gak boleh ke mana-mana!" tegur Rere panik, mencoba menahan Jun agar tidak beranjak pergi.

"I need to find him!" balas Jun tanpa mempedulikan cengkraman tangan Rere yang mencoba menahannya.

"Jun, please... tenang dulu, tunggu sampai kamu clear untuk turun dari tempat tidur."

"I need to find him!! Don't you get it, Re? He needs to survive! I promise him everythings gonna be okay! I promise him that he will gather with his family!

He can't leave... He need to survive for the sake of his wife... For his child... For.... For...

Damn it!!! Damn!!! What have I done?

What have I done???" teriak Jun histeris.

Rere tak bisa menjawab, hanya menangis tersedu di hadapan Jun. Lalu dia mengulurkan tangan memeluk Jun erat. "Sayang, it's not your fault... It is not your fault."

Jun menangis terisak di pelukan Rere, baru kali ini dia merasa sangat lemah. Tak dapat menampik kalau semua adalah kesalahannya.

"Where is my sister?" tanya Jun saat dia mulai agak tenang.

"I don't know, aku terus ada di sebelah kamu saat kamu masuk kamar perawatan. Hanya mendengar kabar dari Ares soal operasinya dr. Azha sekitar 30 menit yang lalu.

Ares bilang kalau dr. Grace akan mendonorkan organnya dr. Azha."

Jeda sesaat ketika Rere mencoba melanjutkan ucapannya. Airmata Rere kembali turun deras. "Sesuai apa yang tertulis di surat wasiatnya. Oh God... He was a great man," isaknya.

He was...

He was the most amazing person yang pernah Jun kenal dan itu membuat segalanya semakin berat.

Why everything have to end like this.

"I need to find my sister, Re," ucap Jun dengan suara parau.

Mata mereka bertatapan sejenak dan akhirnya Rere mengangguk. "OR 4, Ares bilang dr. Azha akan dioperasi di sana."

Tanpa banyak kata Jun beranjak pergi, hampir berlari ke arah sana dan berhasil menemui mereka tepat sebelum Azha dibawa ke ruang operasi.

"Wait!!" teriak Jun.

Matanya menelusuri Azha yang terlihat tenang seolah sedang tertidur saja. Airmata Jun kembali mengalir. "I'm sorry... I'm so sorry...." bisiknya sambil menggenggam tangan Azha erat tak rela melepaskannya. Mencoba mendapat maaf darinya.

"Jun... We need to hurry!" tegur dokter Mira namun Jun mengacuhkannya, masih tak rela melihat kakaknya dibawa pergi sampai akhirnya sentuhan tangan Grace menyadarkannya.

"He's gone, Jun... He's already gone. Let him go. Please... Let him go."

Dengan berat hati Jun melepaskan genggamannya, beralih memeluk Grace erat saat pintu ruang operasi menutup di hadapannya.

"I'm sorry... I'm so sorry. It was supposed to be me. Maaf, Kak, maaf."

"It's okay, Jun. It's okay." Grace mengusap-usap punggungnya, memberi kekuatan untuk tetap tabah.

"Kak Azha harusnya ga ada di sana. Dia di sana untuk minta aku keluar. Kami ada di zona aman, tapi, aku dengar ada yang teriak minta tolong walaupun sayup-sayup. Aku ga nunggu Regu SAR dulu malah langsung ke sana. Kulihat ada anak yang kakinya kejepit reruntuhan. Aku coba narik puingnya. It works, kakinya luka parah, aku coba balut sebisanya sampai Kak Azha datang dan bilang kalau tempat ini belum aman, aku harus pergi. Tapi aku ngotot ga bisa ninggalin anak itu, he's just 10 years old dan nangis-nangis manggil mamanya. Kak Azha bantu aku karena dia jauh lebih cepat kalau bertindak.

Dia minta aku menjauh dari sana, ambil penyangga. Aku baru jalan berapa meter sampai terjadi ledakan ke dua. Kami terlempar jauh tapi kak Azha berhasil nahan kepala anak itu supaya ga kebentur. Itu semua salah aku... harusnya aku ga bawa Kak Azha ke sana. Maaf Kak, maaf....

Kak Azha selalu jadi panutanku selama ini. And now he's gone, because of me. I'm sorry... I'm so sorry," jelas Jun terbata-bata.

Dia berusaha menjelaskan agar kakaknya mengerti. Dia siap menerima konsekuensi apa pun akan kesalahannya. Siap jika Grace akan mengamuk marah. Siap menerima pukulan, cacian, atau apa pun itu demi meredam rasa bersalahnya. Namun, Grace menyentuh pipinya dengan kedua tangan, menatap wajahnya di balik kabut airmata di bola mata gelapnya.

"No Jun! No! Bukan salah kamu! Yang salah itu yang buat semua kekacauan ini. Ini kesalahan mereka!"

"Tapi Kak Azha harusnya ga ada di sana!" raung Jun.

"Trust me, kalau dia tahu ada yang luka, he'll do the same! Ini bukan salah kamu, Jun!"

"I'm sorry... I'm so sorry," ratap Jun putus asa.

"Jun! Hey, Jun! Listen to me! Ini bukan salah kamu!! Jangan menjadi lemah karena ini. Kalau kamu memang menjadikan dia panutan, jadikan kejadian ini sebagai cambuk kamu untuk maju. Jadilah dokter yang lebih hebat dari dia, Jun, please... aku yakin itu yang Azha mau... jangan sia-siakan kepergiannya!" ucap Grace tegas sambil memandang mata adiknya dalam-dalam.

Jun mengangguk ragu-ragu kemudian memeluk Grace lagi. "I'm gonna miss him," gumamnya pelan.

"I've already miss him... I miss him so much," jawab Grace lirih dan balas memeluk Jun erat.

Mereka terdiam di depan pintu OR, saling berpegangan agar tidak tumbang akan kesedihan yang mendera.

Gina keluar, wajahnya basah akan airmata lalu menghambur memeluk Grace.

"Kupikir aku bisa ada di sana. I can help... Ternyata aku ga bisa. I can't open his body saat pisau bedah ada di tangan. I just can't!!

But I'm gonna make sure, semua record penerima kebaikannya akan tercatat dengan baik, Grace."

"Thank you...." jawab Grace lirih. Tiba-tiba dia mendesis tertahan memegangi perutnya seakan kesakitan.

"Are you okay?" tanya Gina.

Grace menggeleng. "I think I need to change my clothes. Bisa tolong ambilkan ke lokerku, Gin?"

Jun dan Gina memperhatikan bercak darah yang menetes ke lantai dari pangkal paha Grace.

"Shit!!! Not this too...." Gina menyambar kursi roda di sudut ruang, mendudukkan Grace perlahan.

"I knew it will happen!" gumam Grace.

"Aku sudah mengalami sedikit flek tadi pagi, Azha sudah minta aku untuk pulang namun ternyata kondisinya tak memungkinkan.

Kalau pendarahan sudah sebanyak ini, tak ada cara untuk menyelamatkannya, right, Gin?"

Gina menatap sedih. "I'm so sorry... tapi sebaiknya kita pastikan terlebih dahulu. Aku carikan baju ganti kamu. Tunggu di ruang praktek aku aja. Aku tau kamu ga mau ketemu siapa pun saat ini."

Gina berancang-ancang untuk membawa Grace pergi namun sebelum pergi, Grace menoleh ke arah Jun, dan berkata pelan. "Dek, please keep it as a secret. Aku tak mau menambah beban pikiran untuk yang lain jika mereka juga tahu kejadian ini. Please... Can you do that for me?"

Dengan leher yang terasa kaku dan tenggorokan yang tercekat Jun mengangguk. Merasa hatinya tertusuk benda tajam saat dilihatnya sang kakak memaksakan diri untuk tersenyum ke arahnya.

"Thank you... Kembali ke kamar kamu, Dek, you need a rest. Everythings gonna be okay." tutup Grace sebelum menjauh meninggalkan Jun yang terpaku.

It's not okay....

Nothing okay with this.

Tidak jika karena kesalahannya telah membuat dia menjadi salah satu penyebab kematian Azha dan calon bayinya sekaligus.

----------

Luv,
NengUtie

Kang JunedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang