Orang-orang kurang kerjaan, batinnya.

Saat berbelok, Rahagi bisa melihat Inara berdiri tidak jauh dari mading sekolah. Yang Rahagi tangkap, gadis itu linglung. Ia menatap ke arah kerumunan siswa yang memenuhi mading.

Melihat hal itu, Rahagi mengeluarkan ponselnya dan menekan kontak Inara. Diperhatikannya Inara yang menunduk mengecek ponselnya.

Setelah cukup lama, akhirnya nada sambungnya terputus, menandakan bahwa Inara baru mengangkat telepon tersebut. Gadis itu memunggungi segerombolan murid–di depan mading–yang berada tidak jauh darinya.

"Ya?" suara Inara yang terdengar takut-takut di ujung sana, membuat Rahagi semakin meremukkan kertas di genggamannya–menahan amarah.

Rahagi berjalan menghampiri Inara. Setelah cukup dekat, gadis itu menyadari kehadiran Rahagi. Lelaki itu berhenti setelah berada satu meter di depan Inara.

Inara menatapnya lurus dengan satu tangan memegang ponsel di dekat telinganya. Rahagi menatap kedua bola mata itu tajam.

"Gue kecewa."

Bisa dilihatnya, Inara memasang ekspresi terluka.

"Harusnya gue yang masang ekspresi kayak gitu, Na," ucapnya dingin lalu mematikan ponselnya.

Inara dengan mulut menganga, menjauhkan ponselnya dari telinga kemudian memasukkannya ke dalam saku.

"Rag...." gadis itu kehilangan kata-katanya.

"Jangan panggil gue dengan panggilan itu."

Mata Inara mengedip beberapa kali, menyadari bahwa air mata sudah memenuhi pelupuk matanya.

Rahagi berbalik dan berjalan cepat menuju parkiran. Kedua tangannya mengepal–dengan salah satu tangan masih menggenggam kertas tadi.

"Rahagi," panggil Inara seraya mengejar lelaki itu.

Rahagi mengacuhkannya.

Inara menghadang jalan Rahagi.

"Tunggu dulu!" seru Inara.

Beberapa murid memperhatikan mereka. Entah itu diam-diam atau terang-terangan.

Rahagi menatapnya tajam dan mengintimidasi.

"Maaf."

"Maaf lo nggak bisa ngembaliin kepercayaan gue lagi. Gue kira lo nggak selicik ini. Ternyata gue salah." Rahagi menarik ujung bibirnya sinis.

"Tapi gue nggak bermaksud begitu, Rag!" teriak gadis itu dengan suara bergetar.

"Begitu gimana? Lo mau apa lagi, Na? Bukannya lo udah berhasil dengan misi lo sebagai mata-mata itu? Buat apa lo minta maaf?" Rahagi mengatakannya dengan nada dingin.

"Gue–" Inara tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia takut, air matanya jatuh di sini. Gadis itu juga cukup terluka dengan tatapan yang diberikan Rahagi.

Sudah berapa kali ia katakan, ia paling tidak bisa mendapat tatapan kecewa. Ia selalu berusaha untuk melakukan apa pun sebaik mungkin. Sebisa mungkin menghindarkan diri dari mengewakan orang lain.

"Makasih untuk satu tahun yang berharga. Sekarang gue sadar kalau menilai orang nggak bisa lihat luarnya aja. Lo busuk, Na. Beda sama cover lo. Lo nggak lebih baik dari cewek-cewek tukang gosip di depan mading itu!"

Inara tertohok mendengarnya.

Lo busuk, Na.

Lo busuk.

Busuk.

"Bukannya sekarang lo bisa tenang? Lo nggak perlu pura-pura baik lagi di depan gue. Lo nggak perlu berurusan lagi sama gue."

AntipoleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang