Hujan

450 43 10
                                    

Pagi ini, di sekolah yang tiap harinya aku datangi, di tempatku mencari ilmu, hari ini bukan itulah yang aku cari, aku mencari-cari teman sebangku ku. Jacky. Dari kejauhan aku melihat Jacky menelusuri kelas demi kelas. Aku berlari mengejar Jacky yang wajahnya kelihatan kebingungan dengan tingkahku.

"Jack..Jackkkkk" teriakku sambil berlari.
Kuraih tangannya kemudian menariknya dengan keras sampai ke kelas. Tanpa kata dia mengikutiku.

"Duduk dulu duduk" kataku.

"Kenapa Sil?" tanyanya bingung.

"Semalam Yaniiii.." aku menceritakan semua apa yang dikatakan Yani tentang Nandan.

"Jackkkkkkkk" teriakku pada Jack karena dia diam saja mendengar ceritaku.

"Aku bingung Sil. Gini aja. Ikuti kata hatimu. Siapa yang lebih dipilih hatimu, itulah pilih. Udah?" jawab Jack singkat namun tepat.

"Tapi.. Ahh" aku pergi keluar kelas dengan perasaan yang kesal.

Aku jalan melewati kelas demi kelas tanpa sadar aku melewati Nandan yang tentu saja memandangiku dan aku tak sama sekali berniat menghadapkan mataku kearahnya. Walaupun aku tahu dia berharap pada mataku.

Namun langkahku dihentikan oleh Yani.

"Sil." Yani memanggil namaku pelan dan berhenti tepat di hadapanku.

Aku tak menjawab dan berusaha meneruskan langkahku. Tapi Yani menahan tanganku sehingga kakiku yang tadinya ingin melangkah terhenti.

"Kamu kenapa Sil?" tanyanya dan menarikku duduk di anak tangga.

Aku hanya menatap Yani dengan tajam. Entah apa yang membuatku menatapnya seperti itu.

"Gak apa-apa" aku membalikkan langkahku dan ikut Yani masuk ke kelas.

Yani dan Cia membuatku lupa dengan apa yang aku pikirkan saat itu. Canda tawa mereka membuat pikiranku yang tadinya keras kini sudah mencair dengan sendirinya. Tak perlu aku berpikir sekeras itu untuk hal yang seperti ini, pikirku.

Aku tak butuh pencerahan orang lain. Aku hanya butuh pencerahan dari diriku sendiri. Pencerahan dari hati maupun pikiranku. Karena sesungguhnya diri kita sendirilah yang mengerti apa yang seharusnya kita lakukan.

Bagiku, meminta pendapat orang lain hanyalah akan membuntukan pemikiran kita sendiri. Saat pemikiran mereka tidak sesuai apa yang ada dihati kita, buat apa? Kasihan mereka yang panjang merangkai kata buat kita, tapi kita malah akan mengabaikannya. Pada akhirnya pemikiran dan kata hati kita yang kita gunakan.

Aku biarkan perasaanku merasakan apa yang ia inginkan. Aku tak pernah mengharapkan agar Nico membalas perasaanku. Bagaimana dia denganku aku tidak terlalu ambil pusing.

Setelah beberapa kali aku merasa ada yang lain dari pembicaraan kami. Rasanya seperti beda saat awal kami bercakapan via text. Tapi aku biarkan saja itu semua berjalan, aku tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya dan akupun tak pernah berpikir bagaimana.

Intinya saat itu dia hanya ingin aku menjadi moodbooster dia disaat wanitanya yang dulu pergi ninggalin dia hanya karna tak mendapat kabar beberapa hari.

Mungkin dia butuh teman, bukan pengganti pacarnya. Hehe

***

"Yan, ada lihat Nico lewat?" tanyaku ke Yani, entah kenapa aku bisa kecarian seperti ini denganya.

"Belum Sil" Yani menjawab tanpa bertanya kenapa. Karena dia sedang asyik mengobrol dengan Cia dan Nandan.

"Duduk dulu sini Sil" ajak Cia.

Akupun duduk dengan mereka bertiga. Aku hanya asyik dengan ponsel-ku sesekali membalas percakapan mereka.

"Sil, pinjam handphone" tiba-tiba Nandan mengeluarkan kalimat itu. Tanpa pikir panjang aku memberikannya dan mengambil tab nya.
"Pinjam tab mu sini"

Entah apa yang Nandan lihat di handphone-ku. Dia cengar-cengir sendirian. Ku rampas handphone ku dari tangannya. Ternyata dia baru saja membajak status BBM ku. Tak mau kalah akupun membalasnya. Dan kami berujung saling membajak.

Tanpa kusadari ternyata Nico melihat apa yang kami lakukan di Recent Updates BBM nya.

Tak lama setelah kekonyolan yang kulakukan dengan Nandan, muncul status Nico di RU ku. "Aku yang akan pergi" aku bingung dengan itu. Tapi aku tak merasa ini untukku. Sebelumnya aku tak tahu bahwa kalimat itu mengarah padaku.

Ternyata hari ini Nico tidak hadir sekolah. Entah kenapa saat itu hatiku tak tenang. Ada sebuah kegelisahan yang menghantuiku. Ada apa ini?

Hari ini setelah jam pelajaran selesai kami melanjutkan kegiatan kami untuk memasuki ruangan laboratoriun komputer. Kami diberikan waktu untuk istirahat dan makan siang.

Saat mereka semua berusaha menghabiskan makan siangnya, aku malah sibuk memainkan handphone ku di luar kelas.

"Sil, si Nico katanya mau pergi" kalimat yang mengagetkanku itu berasal dari suara Nandan.

"Apa maksudmu?" tanyaku penuh dengan amarah yang tidak terlalu aku perlihatkan.
Nandan hanya tertawa licik kemudian berlalu meninggalkanku yang sedang menatapnya aneh.

Aku membuka akun sosial mediaku, twitter. Jariku langsung mengetikkan nama Nico di kolom "seacrh" dan terlihat jelas percakapan Nico dengan mantannya yang membuat Nico akhirnya dekat denganku. Percakapan yang menyakitkanku. Percakapan yang menjatuhkan airmataku untuk pertama kalinya setelah terlepas dari Zordi. Seseorang yang mampu membuatku tersenyum kembali itu kini merusak senyum manisku.

@nicoandela : Hay aku rindu:( @nilaputri

@nilaputri: Hay aku juga rindu{} @nicoandela

@nicoandela: kamu masih mau sama aku?:( @nilaputri

@nilaputri: masih kok masih mau:* @nicoandela

Percakapan yang membuat hatiku serasa jatuh. Entah untuk apa aku mempunyai perasaan seperti ini ke Nico. Seharusnya dari awal aku tahu dia tidak akan bisa melupakan mantannya. Seharusnya aku tahu dia memanggilku hanya untuk menjadi penenangnya saja. Bukan pengganti mantannya.

Saat itu aku benci dengan diriku sendiri. Aku benci dengan perasaanku. Aku benci Nico. Aku merasa saat itu dia hanya menjadikanku pelampiasannya saja.

Cia dan Yani menghampiriku yang sedang menangis dibalik dinding luar kelas. Sebelum bertanya ada apa denganku, aku menunjukkan apa yang baru saja aku lihat.

Mereka memelukku dan tak mengatakan apapun. Mereka tahu bahwa aku sedang tak butuh kalimat-kalimat penenang hati.

Aku hanya butuh sandaran mereka. Aku hanya butuh kehadiran mereka. Bahkan jam laboratorium kami sudah terlewatkan karena airmataku yang tak kunjung henti.

Saat itu juga hujan turun bersamaan dengan airmataku. Dan aku benci hujan. Itu bukan untuk pertama kalinya. Ada hal yang sejak dulu membuatku benci hujan. Karena hujan selalu datang beriringan dengan kesedihanku. Aku merasa hujan sedang menghina airmataku. Itu pemikiranku. Aku tak peduli jika kalian tak setuju.

Hai Luka, Aku BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang