Menanti Matahari Terbit

198 31 39
                                    

Editor Naskah: Farah Arista Manda
Terinspirasi: Asal Kau Bahagia- Song by Armada

Editor Naskah: Farah Arista MandaTerinspirasi: Asal Kau Bahagia- Song by Armada

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Apa yang kamu suka dari terbitnya matahari?"

[.]

Pada pukul delapan, di bawah gemerlap malam. Aku selalu berada di sini, menghempas beban setelah menikmati kebisingan siang. Lelaki penggemar warna merah dan hijau itu yang selalu menemaniku di sini, berbaring di atap rumahnya sambil menghitung bintang.

Aku mengenalnya sejak Ayah ditugaskan untuk melanjutkan pekerjaannya di kota dingin ini. Ibra menemaniku sampai pukul satu dini hari, dari balkon rumahnya di hari kelima aku tinggal di rumah ini. Dia orang pertama di Bandung yang tau jika aku Insomnia.

Tadinya hanya bercakap sambil berdiri di balkon rumah masing-masing. Namun, setahun lalu sejak aku resmi menjadi kekasih Ibra, kami jadi lebih suka untuk memanjat naik melalui tangga kayu untuk sampai puncak rumah Ibra. Atap merah favorit kami.

"Arista ..." panggilnya lembut.

Aku berdeham sebagai jawaban, sementara mataku masih tertuju pada indahnya jutaan bintang di sana.

"Apa aku boleh bicara?"

Spontan aku tertawa. Itu pertanyaan konyol yang baru Ibra nyatakan.

"Lalu sekarang ini kamu sedang apa kalau tidak sedang bicara? Sedang tidur?"

Ibra tidak tertawa, Ia sungguh berbeda dari biasanya. Padahal, lelaki di sebelahku selalu ikut tertawa jika aku tertawa meskipun candaan itu begitu ... receh dan kami meluapkan bahagia bersama.

"Tidak saatnya, Arista. Aku mau serius."

Menit berikutnya Ibra bangkit dari kegiatan berbaringnya, akupun ikut duduk menunggu Ibra yang sepertinya sedang mengambil sesuatu dari dalam tas. Sketch book dengan sampul warna merah dan sebuah kotak warna hijau.

"Ini untukmu dan selamat satu tahun," Ia tersenyum seraya menyodorkan dua benda tadi.

Tidak ada pelukan, tidak ada kecupan manis, tidak ada adegan mengacak rambut, dan tidak ada ungkapan rasa sayang. Hanya senyuman, seperti dulu saat masih berteman. Entah mengapa aku merasakan firasat buruk, tetapi tidak tau itu apa.

"Aku tau kamu menunggu aku mengucapkan itu kan? Maaf, sepulang kuliah tadi aku langsung pulang ke rumah untuk menyelesaikan apa yang ada di dalam sketch book itu," jelasnya.

Aku tersenyum kecil. "Tidak masalah. Selamat satu tahun."

Dari jam 12.00 malam aku memang sudah menunggunya mengucapkan selamat dan harapan untuk hubungan kami ke depannya. Namun, sepanjang hari tadi, aku baru bertemu Ibra saat pagi tadi sebelum Ia berangkat kuliah dan bertemu lagi di sini.

Hening, lagi-lagi tidak seperti biasanya. Aku hanya mendengar semilir sayup-sayup menerpa dedaunan dan hembusan napas Ibra setelah menarik napas dalam-dalam.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 02, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Tulisan di Waktu LuangWhere stories live. Discover now