Darwin yang kesal pun berbisik pada dirinya sendiri, "Lagipula kau lebih kecil secara fisik dari Jenderal Stanford, Tuan Trevor."

"Aku mendengar itu, Darwin!" sentak Louis sekali lagi.

"Baiklah … baiklah!" balasnya. Baru saja Darwin berbalik, Liam memanggilnya lagi. "Oh, ya. Buatkan aku dan Louis teh hangat lagi, tidak pakai gula. Karena kau memecahkan gelasnya, jangan lupa bersihkan juga."

"Terserah padamu, Jenderal Preston."

***

Harry segera bangkit, diikuti Metha keduanya berjalan pelan, tanpa menimbulkan kecurigaan sedikit pun terhadap pengunjung kedai kopi yang lain.

"Apa maksudmu?" bisik Peter.

Viveca melemparkan tatapan mautnya. "Diam."

Kini Harry dan Metha sudah berdiri tepat di hadapan Viveca dan Peter. "Ada kejanggalan?" tanya Harry.

"Sesuatu yang buruk akan terjadi jika kita masih di sini terlalu lama."

"Bukannya Philadelphia aman?"

"Siapa yang mengatakan hal tersebut? Justru jika Philadelphia adalah markas di mana lima puluh persen pemberontak itu tinggal, tempat ini bukan tempat yang aman," elak Viveca.

Metha berbalik, mengisyaratkan agar Niall dan Daphne bisa terlebih dahulu keluar. Tangannya mengisyaratkan agar Niall menyalakan mesin mobil dengan segera.

Metha kembali menatap Viveca dan bertanya, "Kita tidak bisa membunuh satu pun di sini. Atau mereka mengenali kita."

"Nyatanya sebagian dari mereka sudah mengenali kita."

Metha mengernyitkan dahinya. "But how?"

Viveca menarik pistolnya keluar dari balik jaket, membiarkan nampan yang dibawanya tadi terjatuh dan langsung berbalik badan, menodongkan pistolnya pada si pelayan yang tadi melayaninya. Beberapa orang di sana berdiri, kaget.

"Viveca, aku mohon turunkan benda itu." Harry memerintahkan.

"Tidak," elak Viveca tanpa menatap Harry, masih menatap si pelayan sinis. "Jika hanya kau ingin terbunuh, maka aku akan menuruti perintahmu."

Metha memicingkan matanya. Dari sudut matanya, ia mendapati beberapa pergerakan aneh dari sebagian pengunjung. Ia kemudian meremas tangan Harry. "Harry, ini jebakan."

Satu tangan Harry yang sedari tadi sudah memegang pistol di balik jaketnya kini makin erat. Matanya sedikit melirik kepada Metha. "Keluarlah."

"Tidak tanpa dirimu."

"Aku jenderalnya," bisik Harry. "Patuhi aku atau kau akan mati. Aku tidak ingin debu sekali pun menyakitimu, Metha."

"Tapi kau tidak tahu betul siapa para pemberontak, melebihi diriku." Metha spontan memertemukan punggungnya dengan Harry. Saling membelakangi, dengan pistol sudah sedia oleh kedua tangannya.

Suara tepuk tangan keras, memenuhi ruangan. Sosok gadis dengan rambut pirangnya, dilengkapi dengan senapan yang menggantung pada bahunya tengah menyeringai begitu ia keluar dari dapur. "Apakah terkejut?"

"Aleyvea … " desis Peter.

Senyuman liciknya mengembang. "Halo, Peter, Sayangku. Kau terkejut aku masih hidup karena serangan di jembatan kemarin lusa?" kekehan jahatnya memenuhi seisi kedai. "Jangan khawatir. Danny juga masih hidup."

"Viveca, turunkan senjatamu sekarang!" pinta Harry keras. "Ini tidak main-main."

"Aku juga tidak bermain-main, Jenderal." Aleyvea mengangkat senapannya. "Ada sebuah wilayah di antara Washington dan New York, di mana jika kau memasukinya, kau tidak akan keluar selamat. Sampai kapan pun itu."

"Aku sudah mengatakan ini jebakan, Harry." Metha bersuara pelan.

"Tenanglah, Greasy. Danny masih membuka lowongan untukmu, jika kau mau kembali."

"Never in your fuckin' wildest dream," ujar Metha kasar.

Suara pistol dan peluru yang mulai disiapkan memenuhi kedai tersebut. Bahkan dua dari lima pelayan yang ada di sana tiba-tiba mengeluarkan senjata dari balik celemek mereka.

"This is not a good thing, Man." Harry berbisik pelan pada dirinya sendiri.

Pelayan yang ditodong oleh Viveca kemudian balik menodong Viveca. Dan entah sejak kapan Peter sudah menembakkan pelurunya ke arah lengan pelayan wanita tersebut, hingga wanita bertubuh gempal tersebut mengerang hebat.

Gencatan senjata tak terelakkan. Harry berlari ke arah pengunjung lain, yang benar-benar pengunjung. Memerintahkan mereka untuk berlindung di bawah meja, selagi Harry membereskan kerusuhan. Tangan kanannya terus menembaki yang sekiranya tak sekawan dengannya.

"GO FOLLOW HER!" perintah Harry pada pengunjung. Ia menunjuk Metha dengan telunjuk kirinya, gadis itu berdiri di ambang pintu kedai.

Satu-satu pengunjung mulai dievakuasi keluar. Mesin mobil yang menyala dibuat berisik oleh Niall, menarik perhatian polisi yang berjaga.

DOR!

Metha merasakan peluru lewat, melalui helaian rambutnya yang tertiup angin. Dan berakhirnya peluru itu menancap pada lengan kanan Aleyvea yang berusaha membidik Harry.

Metha spontan menoleh ke arah datangnya tembakan. Dengan gagah, Zayn berdiri di sana. Dengan dua pistol yang tengah diacungkannya.

"Kita tak ada waktu lagi!" ucap Harry seraya menarik lengan Metha untuk keluar.

Pun saat Metha dan Harry memasuki mobil yang dikemudikan oleh Niall, Peter yang naik terakhir langsung menutup pintunya.

"Cepat, Niall!" seru Viveca.

Dengan berani, Daphne yang duduk di sebelah Niall mengeluarkan setengah tubuhnya dari jendela. Berbekal sebuah senapan, ia menembaki kawanan pemberontak yang mengejar mereka dengan motor mereka.

Di barisan paling belakang, tiga mobil polisi ikut dalam aksi kejar-kejaran tersebut.

"Ini buruk!" ujar Harry seraya memasukkan peluru ke dalam senapannya. "Bergeser!" pinta Harry pada Peter.

Pun Harry membuka pintu mobil tersebut, dalam posisi tengkurap, ia menembaki roda motor tersebut. Tak membiarkan prianya melakukan hal berbahaya itu sendirian, Metha pun ikut menembaki pengendara motornya.

Dan seketika …

Niall menghentikan mobilnya secara mendadak. Membuat Harry menimpa tubuh Metha, beruntung jarinya tak spontan menarik pelatuknya.

Niall, ralat, tak hanya Niall. Mereka semua tersadar mengapa Niall tiba-tiba menghentikan mobil mereka.

"Zayn … " ucap Metha dengan suara bergetar.

*****

Rela gak tuh Zayn Jadi bad guy?

Baru notice udah 11k reads sama up to 2k votes. thanksss💙💙💙

B. (17/06/2017)

Bad & Unique✔Where stories live. Discover now