Chapter 31

984 158 61
                                    

Louis membuka matanya. Liam mengucap syukur tepat saat rekannya itu berusaha duduk di atas ranjang yang ditidurinya. Masih pening, Louis menggeleng-gelengkan kepalanya sejenak.

"Syukur kau sudah siuman."

Louis masih merasakan nyeri di sepanjang tubuhnya. Punggung serta lengannya terasa mati, ia berasa ingin pingsan lagi saja.

"Kita sudah ada di Gedung Putih. Semua di sini aman, penjagaan sangat ketat." Liam menambahi lagi.

"Baguslah," balas Louis selagi meringis menahan sakit. "Kenapa sakit sekali?!" erangnya.

Liam membantu meletakkan bantal pada sandaran ranjang agar Louis dapat bersandar. Tubuh bagian atas Louis telanjang, sengaja untuk mengobati lukanya barusan. "Tenang. Nanti sakitnya juga akan hilang. Kau mengalami luka bakar yang cukup serius karena ledakan bom kemarin lusa."

Seketika memori Louis terputar pada kejadian naas di jembatan tersebut. Ledakan, Zach Drewis, Zayn yang berbeda, dan …

"Di mana Clarissa?!" tanyanya panik.

Liam memutar kedua bola matanya gemas melihat Louis sepanik itu. "Sudah kukatakan tenang, Tuan Trevor! Semua akan baik-baik saja."

Mata Louis sepanas kobaran api unggun perkemahan pramuka sekarang. "Di mana yang lain juga? Jangan katakan padaku jika—"

"Jangan berpikir negatif!" ucap Liam dengan intonasi tinggi, beruntung ia tak mengeluarkan nada falsetonya. "Ini perintah Jenderal Stanford. Kau terluka, ia tidak ingin kau makin parah. Itu saja."

"Dan dia pergi bersama yang lain, hah?!" Louis memajukan tubuhnya pada Liam geram.

Liam mendorong bahu Louis agar tetap diam. "Jangan memaksaku melakukan kekasaran padamu, Tuan Trevor! Aku ini wakil jenderal, kau juga harus tunduk padaku!"

PRANK!

Mata Louis dan Liam tertuju pada pintu yang terbuka. Di sana berdiri Darwin yang menganga lebar, dengan cangkir berisi teh hangat yang pecah di bawahnya. Kakinya terlihat kaku, bibirnya bergetar.

Liam dan Louis baru sadar akan posisi mereka. Liam seperti memojokkan Louis pada sandaran ranjang dengan kondisi satu kaki Liam berada di ranjang pula. Secepat mungkin Liam membenarkan posisinya, berdiri tegak seraya membenarkan kaus yang dipakainya.

"Kalian … " suara Darwin bergetar. "Apa yang barusan kalian lakukan?"

Liam mengusap wajahnya kasar melihat ekspresi ambigu Darwin. "Astaga, bisakah satu orang saja di sini berpikir logis dan positif? Darwin, aku dan Louis tidak melakukan apa pun yang ada di pikiran kotormu itu. Mengerti?"

"Tapi tadi … "

"Ayolah!" sela Liam. "Louis jelaskan!"

Louis mendengus kesal. Amarah masih menguasainya. "Siapa saja yang ikut bersama Harry tanpa sepengetahuanku?"

"Kedua anak presiden, Metha, juga Tuan Niall Horton. Aku sebenarnya ingin ikut, tapi—"

"Dan mengapa kau menyetujui perintahnya?!" bentak Louis kasar. Seketika ia memegangi dadanya, terasa sesak.

Liam menghampiri Darwin. "Hubungi Harry, kita akan segera menyusulnya."

"Tapi bagaimana dengan kondisi Louis? Dia belum sembuh total."

Liam geram dan memelototkan matanya. "Kau lihat betapa keras kepalanya dia? Aku mengenal Louis selama bertahun-tahun lebih lama darimu, jika Louis meminta sesuatu, maka detik itu pula harus dituruti."

"Dengar itu, Darwin?" sambung Louis dengan suara parau. "Aku akan menarik rambut sepupu kecilku itu dengan gemas hingga dia meminta ampun! Cepat hubungi dia!"

Bad & Unique✔जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें