Indhira menggeleng, "Mereka berada jauh di Floor, mengerjakan yang lain. Walaupun aku harus memberikan pesan ini padanya, aku baru bisa pulang besok."

"Apa enggak ada telepon?" tanya Raka, menopang dagu.

"Tidak ada," jawab Indhi, "Bumiapara berbeda dengan tempat kita berasal, Ka. Ibaratnya, ponselmu tidak ada gunanya selain untuk bermain game dan mengambil gambar. Untungnya kita masih bisa menggunakan radio."

Tak heran, sesering apapun ia mengecek ponselnya, Raka sama sekali tidak melihat bar sinyal yang penuh. Tapi, toh, Raka tidak peduli. Petualangan dan misteri yang ada di depan mata tidak bisa dihambat dengan sekadar melihat layar ponsel. Ada hal yang jauh lebih penting daripada itu semua: kematian Jun.

"Meskipun telepon kabel?" tanya pemuda itu.

"Pagna dan ketidakstabilan tanah tidak memungkinkan untuk hal itu. Awalnya sulit, tetapi lama-lama juga terbiasa," jelas Shen. Ia mengambil mug biru gelap dan berdecak setelah tahu isinya kosong. Ia memandang Raka, "Hertz bilang kau mau tinggal di sini? Saya harus mengambil beberapa data tentangmu. Kau tahu, administrasi yang rewel."

"Tidak, tidak. Saya tidak pernah bilang mau tinggal di sini," Raka meluruskan. Melihat pria itu memiringkan kepalanya, ia menambahkan, "Saya bukan... saya dari Permukaan Atas, tetapi saya bukan salah satu di antara kalian. Maksud saya, leher." Raka menunjuk tengkuknya dengan kikuk, meyakinkan bahwa tidak mempunyai lingkaran hitam di sana. "Dan saya belum pernah ke Orenda."

"Belum pernah ke Orenda dan datang ke Floor karena kemauan sendiri?" Raka mengangguk, entah harus merasa bangga atau bagaimana. Shen berkomentar, "Kau akan menjadi satu-satunya orang yang beralasan seperti itu. Apa yang membuat seorang pemuda sepertimu datang ke Floor, kalau boleh tahu?"

Raka memainkan janggut tipisnya, mengerucutkan bibir. "Bertualang, mengisi waktu luang, dan... bermain detektif?" Seringai menghiasi wajah pemuda itu. "Saya Raka, omong-omong. Salam kenal."

Shen memperkenalkan dirinya sebagai wali kota. Sebagai salah seorang yang masih bisa bertahan hidup setelah dibuang oleh Orenda, pria itu tahu betul apa yang dibutuhkan oleh kelompoknya, oleh para patcher. Rehabilitasi yang sulit seringkali membuat mereka tak bisa bertahan lama.

Rasa hampa pada seorang patcher seringkali menimbulkan resah. Tak jarang Shen menemukan para patcher tak paham dengan apa yang dia rasakan. Entah senang, entah sedih, amarah, maupun kecewa, hal-hal yang berkecamuk pada diri mereka terlalu berlebihan hingga menimbun depresi yang menggunung. Mereka tahu ada yang salah pada dirinya, tetapi tidak bisa menyebutkan apa. Mereka tahu, mereka tak bisa menitikkan air mata, berujung pada tindakannya untuk menggores luka.

Setiap sayatan di tangan maupun anggota tubuh lain adalah upaya untuk dapat lagi merasakan apa yang hilang dari hatinya. Mereka tahu, semakin dalam mereka menyayat, semakin banyak darah yang keluar, dan semakin sulit pula darah itu membeku. Mereka tahu nyawanya bisa melayang kapan pun dan hanya itu upaya mereka untuk mendekati perasaannya yang utuh.

Perasaan sakit dan perih tak sebanding dengan sedih. Tetapi, air mata yang menetes mengingatkan mereka akan masa-masa di mana para patcher itu ingin mengakhiri hidupnya. Detik itu, detik ketika mereka meneteskan air mata, adalah detik di mana ada rasa puas yang mereka kira rasa bahagia. Bahagia yang semu.

Shen menjelaskan bahwa urgensi kedua dokter itu disebabkan oleh serangan pagna yang menghancurkan beberapa rumah warga. Satu rumah kaca hancur ketika makhluk itu naik ke permukaan, melongsorkan tanah dan bebatuan. Dua orang tewas sementara belasan orang luka-luka. Kebanyakan adalah patcher yang belum menjalankan rehabilitasi dengan baik. Mereka mengandalkan insting untuk bertindak dan tidak menyadari risiko yang mereka telan nantinya. Di sisi lain, para penunggang mungkin sedikit teledor memasang perangkap atau tidak sadar akan keberadaan monster serupa tikus tanah itu.

Down There Is What You Called Floor [END]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz