Les Mêmes Yeux

1.7K 216 120
                                    

Mata Yang Sama
————————————————

Hawa lembap dan aroma tanah bercampur lumut mengarungi udara pagi ini. Oh tidak, setiap pagi. Selalu seperti ini untuk kota kecil di pojok Swiss. Murren selalu menghadirkan aroma yang sama yang tidak akan pernah aku lupakan. Semenjak ibu dan ayah baruku memutuskan untuk membesarkanku di sini, aku  harus merelakan hiruk pikuk kota kelahiranku, Paris.

Ayah kandungku meninggal dalam kecelakaan beruntun saat aku berumur tujuh. Sebagai seorang anak tunggal, hidup hanya bersama seorang ibu lumayan berat bagiku. Tidak ada pelindung keluarga. Namun, aku sangat bersyukur ibuku bisa selamat dari kecelakaan tersebut dan cukup tegar hidup sendiri menemaniku sampai akhirnya dia menemukan seorang pria tinggi kelahiran Swiss yang membawa kami ke Murren ketika aku menginjak umur sepuluh.

Semuanya kian membaik hingga hari ini. Mum, ibuku, terlihat menampakan senyum setiap pagi sejak kami memutuskan meninggalkan Paris demi kota kecil yang dinginnya menggigit kulit ini. Ayah baruku, Thompson, tidak seperti pria kaku yang kau bayangkan dalam pikiran sebagai seorang ayah tiri.

Dia baik, suka melemparkan lelucon kecil yang bisa membuat Mum tertawa geli setiap hari, dengan senang hati menemaniku mencari mantel-mantel baru untukku pergi sekolah, bahkan dia ikhlas hanya memiliki seorang anak tiri ketika Mum divonis tidak bisa lagi mengandung karena kecelakaan terdahulu. Sungguh, aku benar-benar beruntung dengan semua ini.

Kilasan masa laluku berhenti begitu saja ketika aku menyadari sorot tajam dari supir bus sekolah. Pria itu mendesah lelah sambil menggerakan kepalanya sebagai tanda agar aku segera keluar dari bus.

"Kau melamun terus seminggu ini. Sekolahlah yang benar, Nak. Kau tidak tahu apa yang dilakukan orang tuamu agar kau tetap berpendidikan," katanya, menceramahiku. Aku melengos, menunduk. Seolah tidak mendengar sama sekali ucapan supir bus itu.

"Kapan mereka semua keluar?" tanyaku sambil meraih tas pundak. Bersiap turun dari bus hijau yang selalu mengantarku ke sekolah setiap pagi.

"Kita tiba sepuluh menitan yang lalu. Tentu saja teman-temanmu bergegas turun agar tak dapat detensi," seloroh Monsieur Hans.

Kurasa menjadi pengemudi bus sekolah selama lebih dari sepuluh tahun, katanya, membuatnya mulai bosan dan mudah marah. Dia mengedikkan kepalanya sekali lagi agar aku benar-benar turun.

Aku mengembuskan napas panjang. Melompat dari bus dan menjejak tanah. Kepulan asap putih menyeruak dari bibirku. Sudah mulai masuk musim dingin ke tujuhku di Murren. Akan sangat repot saat salju sudah benar-benar turun. Aku mengecek jam tangan hitamku, baru pukul delapan kurang sepuluh, aku masih punya banyak waktu untuk berjalan santai ke kelas Kimia. Monsieur Gordon, guru yang suka sekali bicara dengan nada tinggi itu akan telat seperti biasa.

"Yo! Han! Mau es krim?"

Sedikit terkejut, aku menoleh cepat. Lirikan jenaka dengan kerlingan secerah mentari Hawai akan selalu aku dapatkan dari lelaki dengan kulit tan itu. Namanya Marc, dia adalah teman pertamaku sejak aku menginjakkan kaki di Murren. Dad, ayah tiriku, berteman baik dengan ayahnya, yang kemudian mereka berdua membuat kami selalu berada dalam satu sekolah hingga aku menjadi sangat dekat dengannya.

Kedekatan ini membawa kami pada perasaan saling melindungi yang kuat, bagai saudara laki-laki yang akan selalu menjaga adik kecilnya. Sampai terkadang banyak keselahpahaman dengan hal ini. Membuatku tak tahan untuk merasa geli.

Marc masih bersikeras soal es krim tadi. Dia seolah terbuat dari batu, dia bahkan menjilat es krim bagai menyeruput coklat panas di saat yang membekukan seperti ini.

"Kau gila," desahku sambil menggeleng, mengalihkan pandangan pada sepatu bot coklatku yang meninggalkan jejak di tanah basah.

Semua orang tahu Marc agak tidak beres. Dia periang setiap saat, tapi tetap saja mampu menarik semua orang untuk berteman dengannya. Konconya banyak. Seperti sebuah geng terkenal di suatu sekolah.

Les Yeux BleusWhere stories live. Discover now