Setelah itu Tania banyak bercerita tentang dirinya dan mengapa dia sampai babak belur saat pulang dari Singapura waktu itu. Aku hanya menjadi pendengar tanpa berniat memberikan pendapat apalagi solusi. Dan cerita Tania pun mulai menjalar ke kisah keluarganya. Termasuk tentang Ava.

"Ada sesuatu sama lo." Heru menepuk bahuku sebelum turun dari mobil. "Lo kelamaan diam. Itu berbahaya." Aku hanya berdesis menimpali kata-kata Heru. Setelah melewati security check point, kami berjalan menuju briefing room melakukan hal rutin bersama FOO yaitu pengecekan NOTAM, ramalan cuaca, rencana penerbangan dan hal-hal lain yang wajib kami lakukan sebelum penerbangan.

Dan sebelum naik ke pesawat aku sempat menulis pesan lagi untuk Ava karena sejak semalam ia masih belum menjawab pertanyaanku. Jujur aku cukup terkejut semalam bisa bertemu Ava dan aku bahkan menyebut namanya cukup lengkap.

"Gue pernah nanya ke Papa kenapa Ava nggak menggunakan nama belakang Papa. Waktu itu gue belum tahu sejarah Ava masuk dalam keluarga gue. Papa hanya bilang Ava lebih butuh nama Argani agar di masa depan, Ava akan jadi anak yang pemberani dan nggak takut apapun. Dan sekarang gue ngerti."

Cerita Tania ternyata tertanam kuat di otakku hingga nama itu mengendap dalam alam bawah sadarku. Entah kenapa aku bisa bertemu dengan dua perempuan dari keluarga rumit ini. Aku mencoba tidak peduli namun ternyata selalu ada hal lain yang menarikku kembali kepada mereka. Seperti sekarang.

Kamu menemukan buku itu? Bisa kamu kembalikan? Please, buku itu sangat penting. Makasih.

***

Ava Argani

Aku terpaksa membuka mataku akibat bunyi pintu yang digedor dengan nada yang menyebalkan. Aku melirik jam dinding di depanku. Pukul 8. Ternyata sudah tidak pagi lagi.

"Pintu nggak dikunci." Aku berseru dengan tenaga yang belum terkumpul sempurna. Tanganku bergerak mencari-cari ponsel namun tidak berhasil menemukannya. Aku berdecak kesal karena mau tak mau aku harus memaksa tubuhku bangkit. Dan ternyata ponselku sudah tergeletak di lantai.

"Gue bolos. Lo mau kemana hari ini?" pintu terbuka dan Desi masuk sambil membawa dua cangkir di tangannya. Aku meraih ponselku dan mengelus-elusnya pelan. Desi mengulurkan satu cangkir berisi cappuccino instan di depanku.

"Gue nggak ada ide mau kemana." Aku menjawab Desi kemudian kembali menarik guling dan membenamkan wajahku ke sana.

"Ke pantai Karma Kandara yuk."

Aku mendesah mendengar kata-kata Desi.

"Lo kebanyakan duit ya." Aku menyindir Desi mengingat semalam dia mengeluarkan duit yang cukup banyak hanya untuk melakukan misi gagal dan kalau benar ia mau mengajak aku ke salah satu resort dengan private beach-nya itu tentu saja aku bisa bilang kalau Desi memang kebayakan duit.

"Eh...gue ngajak lo ke sana dengan gaya orang miskin. Gue juga ogah kali bayar go pek ceng hanya untuk masuk doang." Desi mencibir dan membuatku tertawa kecil dan mengangkat wajahku memandangnya.

"Emang gimana cara orang miskin?"

"Ntar habis makan siang kita kesana sekalian nunggu sunset."

"Okelah...gue ikut aja."

Setelah Desi keluar dari kamarku aku segera mengecek ponselku dan melihat ada satu pesan masuk yang belum terbaca. Aku langsung ingat kalau semalam aku tidak membalas pertanyaan Erick.

Iya, aku menemukan bukumu. Bagaimana cara aku mengembalikannya?

Setelah mengetikkan balasan untuk Erick aku bangkit dari ranjangku dan berjalan ke kamar mandi. Desi mengajakku untuk sarapan di warung langganannya yang tidak jauh dari kontrakannya setelah itu ia mengajakku menemaninya mencari sneaker di Bali Galeria. Kami kembali ke Nusa Dua untuk mengambil pakaian ganti kemudian melanjutkan rencana kami ke pantai Karma Kandara.

SAUDADE (Fly Me High) -  BACA LENGKAP DI STORIAL.COWhere stories live. Discover now