"Kehidupan baru, huh." Raka tak yakin, "Mendengar ceritamu semalam, bukannya ini menjadi tempat pelarian?"

Indhira tersenyum getir, mengabaikan pertanyaan Raka. "Kenapa kamu bertanya, Ka?"

"Cuma penasaran," jawabnya, "jika Floor merupakan tempat untuk 'membuat hidupmu lebih baik', kenapa banyak nyawa yang hilang? Maksudku, mayat-mayat di Huva Atma dan tumpukan batu itu kuburan 'kan?"

Gadis itu mengalihkan pandangannya ke tempat yang sama dengan perhatian Raka. "Yap. Masih banyak tubuh yang dikubur tanpa ada identitas maupun penanda. Dan benar, mereka semua orang-orang atas," jawab Indhira diselingi jeda panjang, entah berpikir atau memang menyudahi pembicaraan mereka.

Gerungan kabin ganda itu mengisi kesunyian di antara mereka. Selain tembok kelabu yang begitu tinggi, Raka tak melihat adanya bangunan maupun rumah penduduk lain. Hanya hamparan ladang —mungkin lebih tepatnya kuburan.

"Jadi?" tanya Raka akhirnya, memecah sunyi. Indhi menaikkan alis. "Kenapa banyak orang kehilangan nyawanya di tempat yang kau bilang sebagai sebuah permulaan?"

"Menyedihkan ya. Aku pun tidak suka dengan hal ini," ucap Indhi akhirnya. "Tapi nyatanya begitulah dunia bekerja. Bagaimana Bumiapara bekerja."

"Bumi...apa?"

"Bumiapara," ulang Indhira, "sebutan untuk dunia ini."

Perempuan itu memperlambat laju kendaraan mereka, menginjak pedal rem, kemudian menarik rem tangan. Ia mengulurkan tubuhnya ke jok belakang, meraih dua buah topeng bermasker gas dan memberikan salah satunya ke Raka.

"Pakai ini," suruhnya, "Udara di area pembuangan ini tidak bagus untuk dihirup meskipun tidak beracun. Sayangnya, udara di sini dapat membuatmu iritasi. Sebagai tambahan aku pun tidak mau kamu hilang kesadaran karena mencium bau busuk tubuh-tubuh itu."

"Apa bedanya Bumiapara dengan bumi yang biasa?" tanya Raka setelah mengenakan topeng bermaskernya.

"Akan kuceritakan nanti," kata Indhira, menurunkan rem tangan dan mengganti gigi mesin. Ia menunjuk ceruk sekitar lima puluh meter jauhnya. Ceruk itu tidak akan terlihat dari arah lain kecuali mengikuti jalan memutar. Dinding batunya yang tinggi menghalangi mulut gua jika datang dari arah selatan; tak banyak pula orang yang mau melewati daerah ini karena terbilang dekat dengan dump hole. Risiko tertangkap oleh Orenda pun cukup besar.

Ia berkata, "Kamu harus perhatikan jalan ini. Meskipun kami mengatakan jalan rahasia, aku tidak tahu apakah Orenda sudah mengetahui keberadaan jalan itu atau belum. Mereka belum bergerak karena tidak melihat kami sebagai ancaman. The New World menggunakan mereka yang putus asa sebagai bahan utama ruska dan membuang tubuhnya seperti bongkahan sampah."

"The New World?"

Indhi mengacungkan jari telunjuknya di depan bibir, mengisyaratkannya untuk tetap diam. Laju mobil kembali melambat seiring mereka mendekati ceruk yang tampak gelap karena bayang-bayang batu. Seorang penjaga berdiri tak jauh dari sana dengan senjata api siap bidik. Orang itu mengenakan goggles beserta masker gas, pakaian gelap yang terlihat cukup hangat dan sepatu bot. Tidak terlihat adanya penanda nama lembaga atau militer, tetapi mungkin Indhira merupakan bagian dari mereka.

Ketika perempuan itu menurunkan kaca jendela, si penjaga mengangguk, mengangkat goggles-nya untuk melihat siapa di balik kendaraan. "Indhira! Kukira kau tidak akan keluar dari sini dan mampir lagi ke Haven."

"Tentu saja aku datang. Ada banyak bawaan di bagasi," suara Indhira sedikit teredam karena menggunakan masker, tetapi penjaga itu masih bisa mendengarnya cukup jelas. "Apa ada masalah di Haven?"

Down There Is What You Called Floor [END]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu