" Ayah akan kembali malam ini. Ibu yakin kau ingin menyambutnya." Ucap sang ibu yang sejurus kemudian berhasil membuat Minhyung menghentikan langkah kakinya dan berbalik dengan wajah ceria.

" Benarkah ?"

" Dasar bodoh. Ibu tidak akan memasak sebanyak itu tanpa alasan." Alih-alih mendengarkan jawaban dari ibunya, Minhyung malah mendengar jawaban dari kakaknya yang terasa amat menyebalkan di telinganya.

Kalau boleh jujur Minhyung ingin sekali membalas kakaknya, jika saja tidak ada ibunya disana.

" Taeyong." Wanita itu berkacak pinggang, membuat Taeyong menggumamkan kata maaf pelan sembari cemberut.

...

Minhyung duduk bersandar di kepala ranjangnya, sementara pandangannya menerawang keluar jendela, menatap langit di malam musim panas yang cerah berbintang. Meskipun begitu, hal itu tak lantas mengubah suasana hatinya masih tampak begitu mendung.

Ia memalingkan wajahnya pada jam dinding yang tergantung persis di atas meja belajarnya. Pukul sebelas lewat, dan ayahnya sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera pulang.

Entah sudah berapa kali ibunya mengetuk pintu kamarnya, mengajaknya untuk makan malam. Dan entah sudah berapa kali pula Minhyung menolaknya. Bukan berarti Minhyung tidak menghargai usaha yang sudah dilakukan ibunya, tetapi ia hanya tidak bisa melewati satu lagi makan malam tanpa kehadiran ayahnya. Singkatnya, Minhyung sudah terlalu merindukan ayahnya.

Ia ingat kapan terakhir kali keluarganya berkumpul, adalah saat mereka merayakan ulang tahun Taeyong yang kedelapan belas, yang artinya tahun lalu (tetapi ayahnya melewatkan ulang tahun Minhyung kala itu, dan hanya menyampaikan permintaan maaf lewat ibunya). Ayahnya memberikan Taeyong hadiah ulang tahun berupa handband hitam yang berasal dari sebuah brand ternama, yang selama ini Minhyung inginkan (dan sayangnya tidak ia dapatkan), dan itulah salah satu alasan mengapa Minhyung berusaha meminta (lebih tepatnya mengambil) handband Taeyong. Karena benda itu adalah pemberian dari ayahnya.

Ayahnya memang orang yang benar-benar sibuk dan jarang sekali berada di rumah. Tetapi tidak pernah separah ini sebelumnya. Minhyung bahkan nyaris tidak mengetahui bagaimana kabar ayahnya, jika saja ibunya tidak memberitahunya.

Pemikiran bahwa ayahnya akan melewatkan ulang tahunnya untuk yang kedua kalinya benar-benar memukul Minhyung dengan telak. Tentu saja ini tidak adil baginya.

Minhyung baru saja berbaring ketika ia mendengar sebuah ketukan di pintu kamarnya yang terkunci.

" Lee Minhyung." Sebuah suara pria yang amat familiar menyapa indera pendengarannya dengan lembut. Butuh beberapa detik bagi Minhyung untuk kembali ke dunia fana, dan membukakan pintu kamarnya dengan tangan yang gemetar.

" Ayah." Minhyung langsung menghambur ke pelukan ayahnya ketika pria itu merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, meminta untuk dipeluk.

" Maaf ayah terlambat." Ayahnya berujar, sementara Minhyung hanya mengangguk singkat. Rasa kecewanya menguap entah kemana. Ayahnya melepaskan pelukannya sembari tersenyum jenaka. " Jadi apa kau mau tetap berada di dalam kamarmu, atau makan malam bersama ayah ?"

" Tentu saja makan malam bersama ayah !" Minhyung menyahut tanpa harus berpikir dua kali.

Ayahnya tertawa sebelum akhirnya menariknya turun menuju ke ruang makan.

Di lantai bawah begitu gelap, tetapi Minhyung sama sekali tidak melewatkan pemandangan sebuah kue ulang tahun beserta dengan dua lilin berbentuk angka lima belas menyala di atasnya. Ia melihat ibu dan kakaknya melemparkan senyuman jahil kepadanya, wajah mereka terlihat menyala di bawah lilin keemasan.

Avenue | Markhyuck • MarkchanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang