Dito melunak, Jiver menghela napasnya. Ia beranjak, hendak mengambil buku agendanya sebelum suara Dito menghentikannya.

"Jangan kamu sentuh lagi benda itu, saya akan membakarnya."

Ucapan Dito adalah perintah. Jiver memilih mengalah, ia menundukkan kepalanya, lalu pergi dari ruangan Dito. Selalu seperti ini, sejak dulu, Dito tidak suka melihatnya menulis puisi. Di balik pintu, bundanya sudah berdiri, mengulurkan tangan untuk Jiver.

"Maafkan papamu, Jiv," ucap bundanya lirih. Jiver memeluk wanita itu, wanita penuh sabar yang sudah merawatnya, menjadi penyembuhnya saat ia terluka dan menjadi pencegahnya dari banyak lara.

"Aku nggak papa, Bun. Nggak usah khawatir."
"Bunda akan tetap mendukungmu kalau kamu mau menulis, kamu nggak usah takut."

Ira melepas pelukannya, ia mengelus wajah Jiver dengan pelan. Matanya berkaca-kaca hendak menangis, anaknya ini selalu diliputi beban dan kesedihan, walau ia berusaha untuk tetap biasa dan bahagia. Dan itulah yang menjadi alasan Ira untuk menjodohkan Jiver dengan Keyana--gadis ceria yang selalu bertingkah aneh, agar hidup anak laki-lakinya itu lebih berwarna. Lagipula, Lastri juga teman lamanya, dan tak keberatan dengan hal itu.

"Aku pulang ya, Bun."
Ira tersenyum tipis, ia hampir lupa jika rumah Jiver bukan lagi di sini.
"Hati-hati sayang."
"Pasti, Bun."

***

Jiver menabur bunga di sebuah makam yang tampak tak terawat. Makam itu terletak bersebalahan dengan sebuah makam yang berusia sama. Telah terkubur, jasad itu bertahun-tahun lalu, menyisakan segenap duka yang tak berkesudahan dalam hidup Jiver. Kehilangan yang paling menyakitkan, pikirnya, setiap ia berkunjung atau mengenang sosok yang berada di dalam makam ini.

"Apa kabar?" Ia berkata sendiri, tak ada siapa pun di sana. Makam itu tampak sepi.

"Baik? Ya pasti, saya nggak baik."
"Tapi tenang saja, saya akan mencoba baik-baik saja di sini."
"Kamu bahagia di sana kan?"
"Tentu, saya tahu. Dan kamu membiarkan saya di sini sendiri. Saya sebatang kara di sini."

Ia tersenyum masam.

Jiver mulai mencabut rerumputan yang tumbuh liar di atas pemakaman itu. Matanya menyusuri gundukan tanah itu. Lalu ke arah nisan yang tampak kusam. Ia mengelus nisan itu, hatinya bergetar, ada gurat kesedihan yang sekarang menjadi akar. Ia rindu.

"Lain kali saya ajak istri saya ke sini. Oh saya belum memberitahumu ya, kalau saya sudah menikah?"
"Ya lain kali, kamu jangan khawatir. Saya akan memperkenalkannya padamu."

Ia tersenyum tipis sebelum pergi meninggalkan pemakaman yang terletak di kota Bandung itu. Perlu menempuh waktu untuk menuju pemakaman itu, jarak kota tempatnya tinggal dan Bandung tidaklah dekat. Dan berada di tempak itu, meskipun menyakitkan, tapi ia selalu mendapat ketenangan.

***

"Dari mana?"

Keya menyambutnya dengan muka ditekuk. Istrinya itu mengerucutkan bibirnya tampak kesal.

"Rumah bunda."
"Oh, aku pergi ya."
"Kemana?"
"Nonton sama Arsa."
"Hm...jangan malam-malam pulangnya."

Keya mengangguk. Ia mengacungkan kedua jempolnya pada Jiver, dan berlalu begitu saja meninggalkan Jiver yang tak jadi menuju ke kamarnya. Laki-laki itu memutar tubuhnya, mengekori Keya dari jarak yang tidak bisa dijangkau gadis itu.

"Halo Mir..." Ia menelepon Amir.

"Gue baru tahu lo tinggal di sini," kata Arsa begitu Keya masuk ke dalam mobilnya.

"Baru pindah kok hehe...pengin mandiri gitu."
"Anak mami kayak lo gini pengin mandiri? Kepala lo nggak kepentok tembok kan?"

Arsa menatap Keya sangsi. Mengalihkan kegugupannya Keya malah terkekeh, dalam kepalanya banyangan Jiver malah semakin sering muncul.

So I Married A SeniorWhere stories live. Discover now