Bocah Penjual Kukis

90 4 5
                                    

Bocah lelaki itu sengaja melepaskan sepatu bututnya di luar dapur. Sepatu yang kekecilan itu kadang mendecit ketika digunakan berjalan. Misinya mengendap-ngendap di dapur akan gagal bila dia menimbulkan kegaduhan.

Bocah itu berjingkat masuk. Kepalanya berputar kesana-kemari. Rasa cemas membayang di wajahnya. Pintu dapur yang terhubung ke luar rumah bisa terbuka kapan saja. Jendela kaca bisa membuat seseorang yang berada di luar rumah mengetahui aksinya.

Tanpa sadar dia menahan napasnya.

Satu langkah.

Dua langkah.

Tiga langkah.

Dia berhasil tiba di meja dapur!

Dia kembali menelan kekecewaan saat menemukan satu piring dan diletakkan tepat di tengah meja. Jauh dari jangkauan tangan mungilnya.

Bocah itu menatap pintu dan jendela sekali lagi. Masih tidak ada tanda-tanda orang mendekat.

Perlahan sekali dia menarik salah satu kursi kayu. Tenaga kecilnya tidak mampu membuat kursi itu bergeser. Dicobanya lagi. Kali ini dia mengerahkan seluruh tenaganya. Kursi kayu itu akhirnya menyerah dan menuruti keinginan si bocah kecil berumur 9 tahun itu, mundur beberapa puluh senti.

Sebelum dia memanjat kursi yang baru digesernya, bocah itu memandang sekitarnya lagi. Dia cukup khawatir derit kursi beradu dengan lantai tadi didengar seseorang. Seseorang yang ditakutinya setengah mati.

Tapi tidak. Orang itu tampaknya masih sibuk di luar. Bocah itu berharap semoga orang itu berada selama mungkin di luar rumah melakukan entah apa.

Tiga buah donat saling bertumpuk di atas piring itu. Baru saja bocah itu mengangkat salah satu donat. Nyaris saja mulutnya dibanjiri rasa manis roti dan meisses cokelat. Pintu yang sejak tadi ditatapnya lekat tertutup. Seseorang yang ditakutinya muncul dari pintu lain. Pintu dari ruang tengah. Pintu yang tadi dilewatinya.

"Apa yang kamu lakukan?!" bentak wanita itu. Matanya yang tajam mengulitinya. Rambutnya yang sebahu mencuat berantakan, menambah kesan kegarangannya. Tangannya terangkat. Refleks si bocah merendahkan kepalanya, pasrah menerima pukulan dari wanita itu. "Itu bukan buat kamu!"

"Tapi, Bu, saya lapar," rengek bocah itu, sebelah tangannya mengusap puncak kepalanya yang panas. Air mata mendesak keluar, membanjiri pipinya yang kurus. "Saya belum makan."

"Salah sendiri siapa suruh tadi kelayapan," kata wanita itu yang tak lain dan tak bukan adalah ibu kandung bocah itu. "Pulang sekolah itu langsung pulang ke rumah. Bukan main di lapangan. Cepat taruh donat itu kembali!"

"Tapi saya lapar," cicit bocah itu.

"Taruh!" Lagi-lagi wanita itu memukul anaknya. "Atau kamu nggak dapat makan sampai besok pagi!"

Mendengar ancaman dari ibunya, bocah itu mengembalikan—dengan tidak rela—donat yang nyaris dicerna lambungnya kembali ke tempatnya. Setelah itu dia melompat turun dan mendorong kursi kayu masuk ke bawah meja.

"Cepat kerjakan tugasmu," kata ibunya, menyodorkan dua tas plastik berisi kotak-kotak cookies. "Kamu baru boleh makan setelah menjual semua cookies-cookies ini."

"Semuanya?!" Mata bocah itu membeliak kaget. Bisa menjual setengahnya saja butuh usaha yang sangat keras.

"Itu hukuman bagi pencuri!" Kata ibu bocah itu terlalu keras, membuat anaknya makin mengkeret. Dia keluar sebentar, mengambil baju kotor lusuh yang sebenarnya lebih layak digunakan sebagai kain lap.

"Cepat gunakan ini. Ini akan membantumu menjual lebih cepat,"kata ibu bocah itu lagi sembari menyerahkan baju kotor. "Tidak ada tapi-tapian!" imbuhnya cepat sebelum anaknya sempat melontarkan protes.

KUKIS PEDAS - KUMPULAN KISAH PENDEK FANTASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang