Bab 6

19 1 0
                                    

Kalau kemarin hujan, hari ini hanya mendung. Kalau kemarin Gavrila jelas sedih, hari ini Gavrila tidak mengerti apa yang ia rasakan. Pas sekali, seolah bumi menceritakan perasaan Gavrila melalui cuacanya. Matahari tetap menggantung di atas langit, tapi awan banyak menghalangi. Perasaan Gavrila masih menggantung di hatinya, tapi seolah ada sesuatu yang menghalangi.

Pandangan Gavrila lurus ke depan, namun tanpa ekspresi. Otaknya terus berjalan, berusaha memikirkan jawaban yang ia cari-cari. Ia mulai bingung, bagaimana bisa ia menyelesaikan perpangkatan aljabar dalam satu menit, tapi memikirkan hal ini saja ia buntu.

Jari telunjuk dan tengahnya terangkat, perlahan menyentuh bibirnya yang separuh terbuka. Ditatapnya bibir penuhnya itu dari pantulan cermin. Kepalanya tiba-tiba saja memutar memori yang sedang tidak ingin ia ingat, membuat panas langsung menjalar di pipinya.

Saat itu Gavrila tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Otaknya seolah kosong begitu bibir tipis Gerrard mendarat di miliknya yang penuh. Dadanya bergemuruh hebat. Telapak tangannya berkeringat deras. Seluruh anggota tubuhnya seolah bekerja diluar batas. Namun otaknya tidak, pikirannya kosong.

"Lo kenapa gak mutusin gue?"

Pertanyaan itu mau tidak mau menjadi jawaban baginya. Menjadi jawaban dari pertanyaannya. Alasan, alasan yang selama ini ia pertanyakan.

Gavrila boleh jadi susah tanggap. Gavrila boleh jadi bodoh di mata Gerrard. Tapi logika matematikanya membuatnya terbiasa mengaitkan suatu hal dengan hal yang lain.

***

Gavrila menapakan kakinya di koridor lantai satu. Senyum mengembang lebar di wajahnya, sesekali ia membalas sapaan dari murid-murid yang melewatinya. Ia berjalan riang, sambil menyenandungkan lagu dari bibirnya. Kedua tangannya memegang erat tas bekal berwarna biru yang ikut berguncang seiring dengan pergerakan lincahnya.

Sebuah tekad muncul di hatinya. Membuat semangat baru dengan tujuan baru.

Gavrila meletakan tasnya di bangku, lalu duduk di sana. Dibukanya ponselnya yang sejak kemarin sengaja tidak diaktifkan, lalu menyalakan lagu yang langsung terdengar melalui earphone yang sudah tersambung. Ia meraih kepala earphone itu, memasangkannya pada telinganya.

Ia membiarkan ponselnya bergetar sampai tiga menit kedepan. Sejumlah pemberitahuan muncul, yang langsung dilihatnya satu per satu. Jarinya mulai bergerak lincah, mengetik balasan-balasan untuk pesan yang masuk di aplikasi Line, komentar-komentar pada fotonya di instagram—padahal sudah lama ia tidak mengirim foto, juga komentar pada kegiatan yang ia bagikan di Path.

Lima menit, baru ia memasukan ponselnya ke saku rok. Dilihatnya jam yang menggantung di pergelangan tangan kirinya, lalu segera bangkit. Ia meraih tas bekal biru dari atas mejanya, berjalan keluar kelas. Lagi, ia membalas sapaan orang yang ia kenal.

Kakinya baru berhenti melangkah saat di depan kelas XII IPS-3. Ia melongokan kepalanya ke dalam, memperhatikan kelas yang mulai ramai. Matanya menangkap tujuannya, lantas membuat gugup yang sudah sedari pagi ia berusaha enyahkan timbul juga. Ia menarik lagi kepalanya, menghirup napas dalam, lalu menghempaskannya cepat.

"Gavril?"

Gavrila terlonjak sampai mundur selangkah, kepalanya menoleh cepat ke belakang—asal suara. Seketika ia menghela napas lega, memejamkan matanya sesaat. "Lo ngagetin aja." Ujarnya.

"Lo ngapain di sini? Masuk aja kalau mau ketemu Gerrard."

"Eh," Gavrila menggaruk kepalanya dengan jari telunjuk, lalu terkekeh pelan—konyol. "Iya, ini mau masuk."

Tio berjalan santai memasuki kelas, melirik Gavrila yang masih ragu sekilas. Kepalanya bergerak, memberi isyarat pada Gavrila untuk masuk saja. Gavrila mengangguk cepat, lalu melangkahkan kakinya masuk ke dalam.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 06, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Gager HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang