Bab 3

23 2 0
                                    

Rasanya sudah tidak ada lagi jarak antara mobil merah Gavrila dengan sedan hitam di depannya, juga setiap mobil dengan mobil yang lainnya. Macet sekali, lampu lalu lintas yang menyala merah seakan enggan bertukar dengan hijau.

Gavrila menghela napas, antara kesal dengan kemacetan Jakarta yang semakin menggila dan gugup yang ia rasakan. Ia menginjak sedikit pedal gas, lalu kembali menarik rem tangan. Ia meraih ponselnya yang ia letakkan di jok sampingnya saat benda hijau tipis itu berbunyi.

Seketika jantungnya berdetak cepat. Langsung ia usap layar tipis itu, lalu menempelkannya di telinganya sambil menggigit bibir. Ia ingat sekali dengan kalimat Gerrard sekitar setengah jam lalu yang disampaikan melalui nomor yang kini menghubunginya.

"Ini nomor darurat gue. Save. Kalau gue telepon pake nomor ini, langsung dateng ke tempat yang gue sebutin. Saat itu juga."

"Eng... ya, halo?"

"Lo dimana, sih?"

Gavrila meringis mendengar suara ketus Gerrard di sebrang sana. "Sa-sabar. Ini macet."

"Gue tanya lo dimana." Gerrard, dengan suara datarnya berkata lalu menghela napas. Rasa-rasanya ia harus menyediakan kesabaran penuh untuk menghadapi gadis ini.

"E-eh. Aku di... di jalan raya yang di depan komplek Dwi Citra. Tapi macet banget, aku gak bisa masuk ke dalam."

Gerrard berdecak pelan. Gavrila kembali menginjak pedal gasnya setelah lampu hijau yang cukup lama memberikannya waktu yang cukup untuk berjalan berbelok memasuki komplek.

"Cepet dikit."

Gavrila menghela napas, meletakkan ponselnya kembali setelah sambungan telepon terputus. Dengan sebal Gavrila menekan klakson panjang saat dilihatnya antrian mobil panjang di hadapannya. Sepertinya ada salah satu rumah di sana yang sedang mengadakan acara dengan tamu yang banyak—dan memakai mobil.

Lima belas menit lagi, akhirnya Gavrila menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah berukuran sedang berwarna biru. Terparkir lima mobil dengan merk dan harga yang berbeda di depan rumah tersebut. Setelah bepikir sejenak, Gavrila memutuskan untuk kembali menelepon Gerrard.

"Lo dimana?"

"Ng... blok B nomor 17 'kan?"

Gerrard menghela napas lagi, benar-benar gak nyambung. "Lo udah di depan?"

"I-iya. Rumah biru 'kan?"

Gavrila mengernyit saat sambungan teleponnya kembali terputus. Ia menggigit ujung ponselnya pelan, memperhatikan rumah tingkat dua itu dengan pandangan ragu. Rumah itu terlihat terlalu sepi, halaman depannya yang cukup luas dibiarkan kosong. Seperti tidak ada mahluk hidup di sana.

Tok! Tok!

Gavrila terkesiap, menoleh ke arah jendela kiri mobilnya dengan cepat. Namun sedetik kemudian ia menghela napas lega menemukan Gerrard yang melambaikan tangannya seakan menyuruhnya turun dari mobilnya.

Gavrila meneguk ludahnya, lalu mencabut kunci mobilnya dan beranjak keluar. Ia menatap Gerrard takut-takut sambil berjalan ke arah laki-laki itu yang berdiri santai di samping mobilnya.

"Ma-maaf aku terlambat."

Gerrard menatap gadis yang menunduk di hadapannya dengan tatapan aneh, mengangkat bahunya pelan sebelum berjalan memasuki rumah itu. Menyadari Gerrard yang tidak lagi berdiri di depannya, Gavrila langsung mengangkat kepalanya dan langsung mengekori Gerrard masuk ke dalam.

Pertama kali yang Gavrila lihat adalah TV LED berukuran sedang di tengah ruangan yang kira-kira luasnya 50m, menampilkan dua buah mobil balap beserta jalanan animasi. Dua laki-laki duduk di hadapan TV, memandang TV itu serius dengan stick di tangan mereka masing-masing.

Gager HatiHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin