Pencerahan

95 6 2
                                    

Sejujurnya aku masih berusaha mengerti kata-katamu. Arti dari "sampai di sini" dan "berteman saja". Aku paham kamu lelah. Matamu selalu menjadi tempatku mencari kejujuran. Hari itu kamu tampak biasa. Bahkan biasamu masih cantik dan memikat membuat aku tersenyum setiap kilas wajahmu di jangkauan mata. Aku mencoba sungguh. Mencoba membuatmu lebih bersinar. Tersenyum dengan indah, menunggu tarikan lepas dua ujung bibirmu ke atas atau tawamu yang senyaring gema di dalam gua antara dua bibir berlipstik merah yang kamu tahu aku tak pernah suka.

Aku bercerita tentang hal menarik yang kutemukan. Kusebut sebuah pencerahan karena membuka pikiran dan perasaan. Bagaimana jika kita berserah diri pada alam dan Tuhan maka keinginanmu hanya masalah waktu saja. Tidak perlu berpikir keras atau bekerja keras. Cukup katakan apa maumu dan biarkan Tuhan memberinya. Kamu tahu keinganku? Tidak mau kehilanganmu. Aku mau kamu menjadi milikku. Jika kondisi itu bisa aku dapatkan dengan menikahimu maka aku ingin menikahimu.

Sayangnya menikah bukanlah kosa kata baru dalam hubungan kita. Sudah ada sejak awal dan semakin membesar terngiang sejak orangtuamu memintaku secepatnya. Aku tersenyum dan mengiyakan. Itu kan yang kamu dan mereka harapkan? Ekspektasimu selalu kucoba wujudkan. Sayangnya kamu tak pernah sadar semua ada waktunya. Bukan waktu yang kamu bayangkan; menit, jam, hari, bulan, tahun itu buatan manusia. Waktu Tuhan. Waktu yang Tuhan rencanakan untuk tiap-tiap kejadian hebat dalam hidup kita. Sayang, kamu tidak sabar.

Apa kubilang? Kamu tidak pandai berbohong. Matamu selalu jujur, bibirmu bergetar jika sesuatu ingin keluar tapi kamu menahan, raut wajahmu seperti pelantang hatimu di mataku. Pertama aku bertanya apa yang ingin kamu bicarakan? Karena memang anehlah kamu sejak awal kulihat. Karena rencanamu adalah menemani temanmu belanja, tapi kemudian kamu menarikku berbicara berdua dan menyuruh temanmu pergi sendirian. Aku pikir kamu serindu denganku dan senangnya hatiku membayangkan saat berdua denganmu.

Kamu terisak tiba-tiba. Aku ingin tertawa, bukan karena lucu, tapi aku bingung. Kamu kenapa? Air mata itu jatuh bebas bundar-bundar di pipi tirus coklat dan hidungmu kembang kempis leluasa. Oh, aku berdoa saat itu, jujur aku berdoa; Tuhan semoga bukan hal buruk yang terucap dan Tuhan seperti biasa akan mengabulkan doa sesuai permintaan umatnya dan bukanlah kesalahan Tuhan jika tak seperti yang kamu inginkan. Benar, tidak ada hal buruk yang terucap. Suaranya pelan terisak lembut, luluh hatiku mendengarnya. Sudah cantik, baik pula. Caramu menyusun kata hingga keluar kata "sampai di sini aja" dan "kita berteman, jadi saudara" membuat hatiku tenang tak ada keresahan.

Oh, pencerahan yang direncanakan Tuhan. Semalam aku menelan semua ilmu yang kutemukan di internet tentang membebaskan hati dan pikiran, dan berserah diri Tuhan punya rencana, lalu siang ini kamu berkata ingin mengakhiri tiga tahun hubungan. Pencerahan, pencerahan, pencerahan. Sia-sia usaha, sia-sia waktu, dan aku tetap menikmati saat berdua ini seolah ini tak akan menjadi akhir, kata-katanya hanyalah emosi temporer. Sepulang dari sini kita akan biasa kembali seperti yang pernah kita lalui, karena ini bukan pertama kali kamu meminta hubungan ini terakhir. Bodohnya aku percaya, sedangkan aku selalu bisa membaca wajahnya jelas. Kesungguhan di wajahnya bilang kata-katanya jujur dan mantap, tak ada jalan kembali jika aku mengiyakan. Oh, pencerahan sialan! Harusnya aku tidak mengiyakan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 28, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Terapi MenulisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang