Prolog

32 2 0
                                    

Karmen melempar tas sekolahnya ke lantai dengan kasar. Tak lama ia juga menjatuhkan tubuhnya ke kasur dan membenamkan wajahnya jauh ke dalam bantal besarnya. Rambut keriting sebahunya berantakan karena karet rambut yang biasa dipakai untuk mengikat rambutnya sepertinya putus sehabis bertengkar dengan teman-temannya tadi.

Baru beberapa menit ia berbaring di kasurnya, pintu kamarnya kemudian terbuka. Seseorang sepertinya masuk dan ingin mendekatinya. Karmen sudah sadar, tapi ia enggan untuk menoleh.

"Men, ganti bajunya dulu, baru tidur." Itu suara Ibunya.

Karmen tidak merespon dan malah pura-pura tidur. Ia tidak mau Ibu melihatnya menangis. Namun Ibu tetap diam disana, bahkan sekarang membelai rambutnya perlahan. 

Karmen akhirnya mendongak dan meletakkan kepalanya dalam pangkuan Ibunya. Tidak tahan ia pun menangis sejadi-jadinya. Sejak Karmen sadar kedua orangtuanya bercerai, entah mengapa Karmen jadi sangat emosional dan cengeng seperti sekarang. 

"Bu, Karmen mau pindah sekolah aja Bu." rengek Karmen manja. Ia tidak tahan karena terus menjadi bahan ejekan teman-temannya. Di sekolah, ia bisa dengan sangar dan galak, balik memarahi bahkan memukul teman-teman yang selalu mengejeknya, tapi sampai di rumah, sisi lemah dan cengengnya muncul karena ia sadar, makin lama ia tidak punya teman. 

"Anak Ibu kok jadi cengeng gini sih?" tak Karmen sangka, nada bicara Ibunya meninggi. 

"Habis aku udah gak tahan Bu. Bukannya Ibu yang dulu bilang, kalo kita gak suka diganggu, ya kita harus bilang. Tapi mereka malah makin sengaja." Karmen membela diri. 

Ibu Karmen termenung. Beberapa bulan ini ia memang sering mendapat laporan dan panggilan dari sekolah tentang kelakuan Karmen. Ia heran dan sedikit tidak percaya, Karmen yang di rumah selalu terlihat murung ternyata bisa berbuat seperti itu di sekolah. 

"Ya udah. Tapi nanti tunggu lulus SMP dulu. Kalo pindah sekarang tanggung, Men." akhirnya Ibu mengiyakan permintaan Karmen. 

"Bener ya Bu?" Karmen bangun dari tidurnya kemudian menatap Ibunya lekat-lekat. Ibu mengangguk.

"Tapi, kamu harus inget pesen Ibu." Ibu Karmen kemudian mengangkat kedua tangan putrinya. "Kamu cuma punya dua tangan..." kemudian ia mengarahkan tangan Karmen ke arah telinga Karmen. "...dan dua telinga." lanjut Ibu Karmen. 

"Terus kenapa Bu?"

"Pake tangan kamu, buat nutup telinga kamu, kalau di luar nanti ada yang ngejek kamu lagi. Jangan kamu pake tangan kamu buat nutup mulut mereka. Kebanyakan. Ngerti?"

Karmen agak bingung tapi kemudian ia mengangguk.

"Satu lagi. Kalau kamu sedih, nangis, atau marah, jangan lama-lama. Hidup ini jalan terus, kalo kamu gak cukup kuat, bisa apa kamu nanti?" 

Karmen diam. Baru kali ini ia mendengar Ibunya berbicara seserius itu. Tapi memang perkataan Ibunya semuanya benar. Semakin dewasa, ia memang harus semakin kuat bila tidak mau digerus oleh kerasnya hidup. 

"Udah, jangan nangis." Ibu kemudian menghapus air mata di pipi Karmen dengan kedua tangannya. "Ganti baju dulu, terus belajar. Besok ada ulangan gak?"

Karmen menggelengkan kepalanya. Kemudian ia memeluk Ibunya. Dulu ia sempat marah dan bingung karena merasa dibohongi perihal perpisahan kedua orangtuanya. Bagaimana ia tidak marah, selama beberapa tahun Ibunya hanya bilang bahwa mereka sedang jalan-jalan tanpa Bapak, sampai kemudian Karmen sadar ada sesuatu yang aneh di antara kedua orangtuanya, hingga ia akhirnya tahu kalau Bapak dan Ibunya tidak lagi bersama. Tapi kini Karmen sadar, untuk saat ini hanya Ibu, satu-satunya yang ia milikki dalam kehidupan ini. Jadi, mau marah atau sedih sebagaimanapun, ia tidak bisa membenci orangtuanya.

"Sebabak belur-babak belurnya hati kita, kita pasti tetep bisa sayang sama orang, Men." salah satu nasihat Ibunya yang selalu Karmen ingat. Tapi satu hal yang Karmen tidak mengerti, mengapa Ibu tidak kembali saja pada Bapak? Bila memang hati Ibu sangat hancur bahkan sampai babak belur, bukannya Ibu yang bilang kalau ia masih bisa sayang pada orang lain? Termasuk Bapak? Namun Karmen tidak berani menanyakannya sampai sekarang. Mungkin bila ia sudah lebih dewasa, ia akan memberanikan diri untuk bertanya pada Ibunya. 

Ada apa dengan Karmen?Where stories live. Discover now