Kudapati handphoneku yang menyala diatas tempat tidur. Rupanya Rachel mengirimku pesan di WhatsApp. Dia bahkan mengulang pesan yang sama dalam tiga kali karena aku tidak kunjung membalasnya. Sisanya pesan dari Jidan dan percakapan di grup.

1 Message from,

Rachel :
"Cek grup angkatan, tranding topik nya lagi seru."

Nafisya :
"Fisya lagi gak mood bahas apapun."

Rachel :
"Ini tranding topik yang lagi banyak diomongin anak-anak:
1# Pak Alif berstatus lajang.
2# Pak Alif berumur 29 tahun.
Gila kan tuh dosen, umurnya nipu banget!"

Rachel:
"Gak nyangka udah tua masih ganteng. Cool lagi. Gue aja yang tampan mendeklarasikan ketampanan dosen satu itu."

Nafisya:
"Umur nggak menjamin kedewasaan kali, Hel."

Rachel :
"Dewasa hahaha ... Kata yang bermakna jamak, kamu lagi banyak masalah ya?"

Nafisya :
"Otak kamu yang kelewat dewasa. Bersihin tuh pake larutan desinfektan di lab besok. Hidup kalo tanpa masalah monoton, kan?"

Rachel :
"Iya, tapi hidup penuh masalah stres woy!"

Nafisya :
"Itu gimana kita ngejalaninnya, mungkin kamu stres karena ngejalaininya sendirian."

Rachel :
"Kamu kan enak punya pria dari mars itu jadi ngerasa tenang ngadepin masalah apapun, right?.."

Nafisya :
"No, 'cause I have Allah. Seseorang pernah bilang sama Fisya kalau tanda kecintaan Allah pada hambanya adalah dengan Dia mengujinya. Jangan terlalu membenci suatu masalah."

Sementara menunggu balasan dari Rachel. Aku membuka jendela lebar karena Jidan kembali melempari kamarku dengan krikil. Pria itu tidak pernah ada bosannya. Ketika Jidan akan berbicara aku sudah melarangnya lebih dulu.

"Sssttt! Fisya mau bicara penting!" kataku.

"Yang aku lebih penting, Sya!" katanya. Aku menyelanya lagi.

"Pokonya ini lebih penting. Ini menyangkut keberlangsungan hidup suatu makhluk di muka bumi!" kataku over.

"Korban film dasar! Ya udah, ayo bilang ada apa?" tanya Jidan. Aku mengawasi pintu kamarku was-was.

"Idan ..." kataku sambil memasang tangan di dekat mulut dan berbicara pelan-pelan.

"Jangan bisik-bisik! Gak kedengeran, Sya!" teriaknya. Dasar, tidak bisa diajak kompromi sama sekali.

"Ini penting banget. Nggak boleh sampe ada yang tau. Rahasia!" kataku sedikit keras. Jidan mengangguk dengan serius.

"Jadi gini Fisya mau bilang kalo ... kalo ... Fisya," dia nampak semakin penasaran dengan apa yang akan kukatakan.

"Kalo Aku mau titip beberapa kaktus dirumah pohon, boleh ya?" tanyaku tersenyum seramah mungkin agar dia mengijinkannya. Jidan melepaskan sandalnya dan hampir melemparnya ke arahku.

"Mau apa yang kena? Wajah? Kepala? Dasar kamu ya! Usil banget sih. Orang udah serius juga," katanya kesal. Aku tertawa puas melihat ekspresi kesalnya.

"Hehehehe ... Ummi bilang kaktusnya udah kebanyakan di teras. Boleh ya? Kan Idan dari kecil selalu ngalah buat Fisya, masa sekarang nggak mau sih," bujukku.

"Boleh, biaya sewa lima ribu per jam ya?" Aku memasang wajah datar dan hendak menutup jendela lagi. Dia kira warnet kali lima ribu per jam.

"Bercanda Sya ... elah ngambek. Bebas kok, mau dibikin green house sekalian juga silakan," katanya cepat agar aku tidak menutup jendela itu. Aku tersenyum puas penuh kemenangan.

"Nah gitu dong, baru namanya Jidan. Oke, nanti aku pindahin hari minggu. Makasih ya, ya udah assalamualaikum," katakku sambil segera menutup jendelanya rapat-rapat.

"Waalaik—bentar. Nafisya aku belum ngomong!" teriaknya melengking.

____________

Gemes mana? Alif-Fisya, apa Jidan-Fisya? Makasih udah baca sampai part ini. Mari berkabar di kolom komentar.


Jazakumullah khairan katsira.

Jadikan Al-Quran sebagai bacaan utama.

Assalamualaikum Calon Imam ✔Where stories live. Discover now