12. Sebuah Harapan

35.1K 4.5K 470
                                    

"Bunda?"

"Ya, Sayang?" Vio menoleh pada Ola yang tengah berbaring di sampingnya sambil menonton televisi.

"Kok Om Elang nggak pernah ke sini lagi?"

Vio berpaling dari wajah Ola yang tampak sedih. Dia tidak akan sanggup melihat wajah Ola yang bersedih, tapi dia juga tidak bisa melakukan apa-apa karena Erlangga menghilang. Yeah, betul-betul menghilang.

Satu hari setelah mereka beradu mulut di ruang rapat, Erlangga tidak tampak kembali di sekolah. Tidak ada yang tahu dia kemana. Semua tanggung jawab sekolah diserahkan pada Bu Wanda hingga Erlangga kembali. Dan Erlangga tidak kunjung kembali. Bahkan aturan baru yang dibuatnya tidak jadi diterapkan.

Seharusnya dia senang seperti teman-temannya karena peraturan itu tidak jadi dilaksanakan. Tapi dia tidak merasa seperti itu. Sudah satu minggu dan lelaki itu belum kembali. Dan tidak bisa dipungkiri, kembali ada bagian dari dirinya yang hilang saat Erlangga tidak ada. Bahwa ternyata Erlangga begitu memberi pengaruh besar di hidupnya. Dan hidup Ola terutama.

"Sayang, Om Elangnya lagi pergi. Nanti ya Bunda tanyain kalau Om Elangnya pulang." Vio mengusap lembut rambut Ola. Kembali satu kebohongan terucap dari bibirnya. Dan hal itu membuatnya semakin merasa bersalah. Entah akan berapa banyak lagi kebohongan yang akan dia ucapkan untuk putrinya ini.

Ola cemberut dan memeluk erat bonekanya. "Kenapa Bunda nggak telepon Om Elang?" Matanya berkaca-kaca menatap Vio.

"Sayang..."

"Bunda, ayo telepon Om Elang." Ola mengguncang tangannya dengan semangat.

Vio menghela napas dengan bimbang. Apa yang harus dia lakukan? Selama ini dia tidak pernah menghubungi Erlangga lebih dulu. Apa yang akan dipikirkan lelaki itu jika dia menghubunginya lebih dulu?

"Bundaaa, ayooo cepat telepon Om Elang!!"

Vio mengomel dalam hati. Ola benar-benar Erlangga sejati yang suka memaksa. Dia menyesal telah membenci Erlangga saat hamil dulu hingga Ola menjadi duplikat Erlangga seperti ini. Vio meraih ponselnya dan mencari nomor Erlangga di sana. Setelah berkali-kali berdebat dengan hatinya sendiri, akhirnya dia memencet tombol telepon. Terdengar nada sambung, namun Erlangga tidak juga mengangkat teleponnya.

"Sayang, Om Elangnya udah tidur. Tuh nggak diangkat," Vio menunjukkan ponselnya.

Ola kembali cemberut. Matanya kembali berkaca-kaca pertanda dia siap menangis. Vio baru meletakkan ponselnya saat benda itu berbunyi. Sederet nomor asing tertera di sana.

"Halo?"

"Violet, ada apa meneleponku?"

"Erlangga?"

"Bundaaa, aku maaauu!!" Ola menjerit gembira dan melonjak-lonjak di kasurnya. Vio tersenyum dan menyerahkan ponselnya pada Ola yang langsung direbut oleh gadis kecil itu.

"Om Elaaaang!! Ola kangeeenn. Huhuhu." Tangis Ola pecah saat akhirnya dia bicara dengan Erlangga.

Vio cepat-cepat memangku putrinya dan mengusap punggungnya lembut.

"Om Elang ke mana?" Tanya Ola dengan terisak-isak. Dia masih sesenggukan saat Erlangga menjawab pertanyaan Ola.

Vio mencium rambut Ola dengan sedih. Ola sudah begitu sayang pada Erlangga. Tidak mungkin dia bisa memisahkan mereka berdua. Ibu macam apa dia jika membuat anaknya bersedih?

Berikutnya Ola sudah asyik bercerita dengan Erlangga. Entah apa yang mereka bicarakan. Gadis kecilnya tertawa-tawa dengan senangnya.

"Bunda, Om Elang mau bicara sama Bunda." Ola mendongak dan menyerahkan ponselnya lalu kembali meringkuk nyaman di pangkuan Vio setelah Vio menerima ponselnya.

VIOLET (SUDAH CETAK-TERSEDIA Ebook)Where stories live. Discover now