"Nggak mau! Ntar disuruh ngiris bawang mataku perih, terus pasti nangis."

Jiver menghela napasnya, risiko menikah dengan anak kecil ya begini. Ia harus ekstra sabar untuk membujuk Keya agar pelan-pelan bisa merubah peringai manja dan semrawutnya. Jiver percaya, waktu akan membantu proses pendewasaan diri Keya, dan saat ini sebagai suami ia bertugas untuk membimbing istrinya itu.

"Itu sudah risiko kamu kalau mau belajar masak, Ke. Aku nggak memaksamu, kalau kamu nggak mau  terserah. Ya, kasihan mama punya anak perempuan tapi nggak mau bantu masak," ucap Jiver, sedikit menyindir Keya, membuat bibir Keya manyun.

"Ishhh oke deh, oke. Aku bantuin mama!" kata Keya, ia menghentakkan tangan Jiver dan melangkah pergi meninggalkan Jiver di balkon kamarnya.

***

"Keya masih kekanakan Ver, dia belum dewasa. Apa kau yakin dengan permintaanmu?" kata papa mertuanya sewaktu Jiver duduk menghadapnya.

Papa Keya baru saja pulang ke rumah malam kemarin, tepat ketika Jiver menginap di kamar Keya. Hendra—papa mertuanya tiba di rumah pukul dua belas malam, sehingga tak sempat bertemu dengan Jiver.

"Saya yakin, Pa. Keya istri saya, sudah kewajiban saya untuk bertanggung jawab atasnya. Tapi, semua keputusan ada di tangan papa."

Hendra menyesap kopi hitamnya sambil mengecilkan volume tivi yang menampilkan berita politik yang disiarkan oleh salah satu tivi swasta di negeri ini.

"Kau belum punya pekerjaan, Ver. Mau kau beri makan apa anakku?"

"Saya bekerja sampingan, Pa. Gajinya memang tidak besar, namun cukup untuk menghidupi kami berdua."

Hendra menaikkan sebelah alisnya, ia menatap Jiver lagu.

"Saya mendirikan usaha bersama teman-teman saya, ya masih kecil, Pa, tapi seperti yang saya katakan tadi, saya akan siap bertanggung jawab atas Keya," ucap Jiver seakan mengerti arti tatapan papa mertuanya.

"Oh ya? Usaha apa?"

"Sablon kaus dan percetakan, Pa, di dekat kampus sana."

Berpikir sejenak, Hendra menatap Jiver yang duduk di depannya dengan yakin. Ia lalu mengembuskan napasnya.

"Kalau sudah keputusanmu, papa memberi restu. Bagaimanapun Keya istrimu, terlepas dari sebab pernikahan kalian yang hasil dari perjodohan, tapi papa percaya kau mampu menjaganya. Papa salut padamu yang bisa membuka usaha sendiri, setidaknya kau tidak harus selalu bergantung pada papamu."

Jiver tersenyum tipis, ia menggumamkan terima kasih pada Hendra. Minggu depan, mungkin ia sudah bisa memboyong Keya untuk hidup bersama di sebuah apartemen hasil pemberian bundanya ketika ia berulang tahun ketujuh belas beberapa tahun yang lalu.

"Pa, Mas Jiver...makanan sudah siap," ucap Keya tahu-tahu muncul dari arah dapur. Jiver tersenyum kecil ketika ia mendengar panggilan Keya untuknya. Andai istrinya itu mau memanggilnya begitu setiap hari. Tapi, ia tak bisa memaksa, biarkan seleksi semesta yang membuat semuanya berada di jalur yang tepat suatu saat nanti.

***

Suasana tak kunjung membaik sedari tadi. Rapat mediasi yang dilangsungkan oleh pengurus ormawa menanggapi demo yang akan mereka laksanakan membuat ketegangan tak bisa dihindarkan. Beberapa mahasiswa yang datang dari berbagai macam partai dan ormek yang ada di kampus ngotot memertahankan asumsinya masing-masing. Perdebatan berjalan alot tanpa adanya titik final. Jiver semakin jengah dengan situasi yang memanas ini, padahal segala surat perizinan sudah diurus, tapi di penghujung hari puncak mereka malah berdebat untuk urusan yang sebenarnya tidak penting. Hanya sebatas menentukan siapa yang berhak memimpin demo dan jalannya acara besok membuat mereka berdebat tak kunjung selesai.

So I Married A SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang