1. our first sight

158 13 6
                                    

Anggi seperti biasa mengoles roti tawarnya dengan selai stroberi. Uh, padahal gadis itu sudah telat 30 menit masuk kesekolah. Anggi memang sedikit cuek akan hal itu. Uhm, sebenarnya sangat cuek.

Sambil mengikat converse buluknya, ia memasukan roti itu sekaligus kedalam mulutnya, lalu mulai mengunyah. Tampilannya yang acak-acakan pasti akan membuat orang yang tidak mengenalnya berpikir kalau ia anak jalanan yang tidak punya tujuan hidup. Padahal ia merupakan orang berkecupan, atau mungkin cukup kaya karena ayahnya seorang pengusaha dan ibunya seorang dokter. Bahkan ayahnya sudah berencana memberikan perusahaannya pada Anggi. Namun karena gadis itu selalu melakukan kesalahan, ayahnya mengurungkan hal itu sampai suatu saat Anggi berubah jadi perempuan lebih baik.

Rok kotak-kotaknya dipadukan dengan kemeja putih yang sengaja ia keluarkan. Seharusnya ia memakai seragam dengan rapi. Dasi, lalu kemeja yang dimasukan kedalam rok. Namun, memang style gadis itu yang acak-acakan. Ia memakai seragam semaunya saja. Entah sudah berapa kali ia mendapat poin negatif dari sekolahnya karena melakukan itu.

Mungkin itu juga karena orang tuanya yang jarang memberi masukan dan nasehat pada Anggi. Orang tua Anggi begitu sibuk dengan pekerjaan sampai melupakan Anggi. Dan hal itulah yang membuat Anggi seperti saat ini. Ia tidak memiliki tujuan hidup.

Hatinya tertutup, seakan dihidupnya sudah tidak ada yang namanya cinta dan kasih sayang. Ia juga kurang percaya akan hal itu. Cinta? Kasih sayang? Bahkan Anggi tak pernah merasakan itu. Karena itulah Anggi menjadi gadis yang sangat cuek akan segala hal.

Setelah rotinya sudah ditelan habis, Anggi mengamit jaket denimnya lalu berangkat kesekolah dengan sepeda fixie nya. Ya, jarak sekolah Anggi dengan rumahnya memang tidak begitu jauh. Jadi ia memutuskan untuk naik sepeda saja.

Ia memasang earphone dikedua lubang telinganya. Menyetel lagu favoritnya, dan baru setelah itu ia menggoes sepeda.

Diperjalan ia bersenandung sesuai dengan lirik lagu yang ia dengar. Anggi menjalankan sepedanya lumayan kencang. Uhm, ini kecepatan standar menurutnya. Padahal ia menggoes sepeda dengan cepat dan kencang. Dasar gadis jadi-jadian.

Kira-kira 10 menit kemudian ia sampai digerbang sekolah. Gerbang itu sudah tertutup rapat. Hal yang biasa bagi Anggi. Ia berhenti tepat didepan gerbang lalu menengok kedalam gerbang dimana Pak Firman- satpam sekolah berada.

"Pak!" Panggil Anggi pada Pak Firman. Pak Firman pun menengok. Ia menghela nafas. Anggi lagi, Anggi lagi. Batinnya. "bukain dong!"

"Maaf dek Anggi, saya gak bisa bukain gerbangnya. Gerbang gak boleh dibuka sampai jam istirahat pertama" kata Pak Firman menjawab Anggi dengan malas. Ah! Harusnya Anggi sudah hapal dengan jadwal tutup-buka gerbang. Karena sudah ratusan kali Pak Firman memberitahunya.

"Yah pak, please dong bukain" Anggi selalu memasang wajah memelas kalau situasinya sudah begini.

"maaf dek-"

Tin! Tin!

Permohonan Anggi terintrupsi oleh suara klakson mobil dibelakangnya. Ia menengok lalu terbengong beberapa saat. Ia tak pernah melihat mobil ini sebelumnya diarea sekolah.

Pak Firman lantas membuka gerbang dengan gesit untuk mobil itu. Dan hal itu dijadikan kesempatan oleh Anggi untuk masuk kedalam sekolah. Dengan cepat ia memarkirkan sepedanya di tempat parkir khusus sepeda, sebelum hal itu disadari Pak Firman.

Anggi berlari menuju kelasnya. Untung saja kelasnya ada di lantai bawah. Jadi ia tidak perlu repot naik tangga.

Dengan nafas terengah Anggi masuk kedalam kelasnya. Suasana kelas yang damai menjadi sedikit tegang karena kedatangan Anggi. Ups! Bagaimana ia bisa lupa kalau hari ini ada jam pelajaran Pak Hasan- guru ter-killer disekolahnya. Sudah pasti kali ini ia akan mendapat hukuman.

Teman-teman dikelasnya hanya memutar bola mata jengah. Anggi lagi, Anggi lagi. Begitu pikir mereka. Dan beberapa diantaranya tengah menunggu, apa yang akan menjadi hukuman untuk Anggi.

"Anggita Savika!" Ucap Pak Hasan dengan nada mengintimidasi. Anggi hanya menunduk pasrah.

"sekarang kamu hormat dilapangan sampai jam pelajaran saya selesai!!" Kali ini dengan nada membentak, membuat Anggi sedikit kaget.

"Tapi pak saya cuma--" belum sempat menyelesaikan penjelasannya, Pak Hasan sudah memotong.

"Gak ada tapi-tapi! Ini sudah kesekian kali kamu telat!" kata Pak Hasan. "Sekarang cepat kelapangan dan hormat ke bendera!"

Dengan pasrah, Anggi menyeret kakinya menuju lapangan. Ia menaruh tas nya asal diatas aspal lapangan lalu berdiri didepan tiang bendera. Dengan malas ia mulai hormat ke bendera, karena sedari tadi Pak Hasan menatapnya dari jauh dengan tajam.

Masih sekitar 1 jam lagi Anggi harus terus hormat seperti ini. Beberapa murid yang seliwengan melewatinya terlihat biasa saja. Mereka bahkan sudah bosan harus melihat Anggi dihukum terus.

Anggi terus memutar matanya melihat sekeliling untuk sekedar menghilangkan kebosanannya. Bosan, sangat bosan. Bagaimana tidak? Ia harus menunggu jam pelajaran Pak Hasan selesai. Jangan lupa, sambil hormat.

Tak sengaja matanya bertemu dengan sepasang mata sejuk milik seorang laki-laki yang sedang berjalan melewatinya. Laki-laki itu baru saja keluar dari ruang kepala sekolah bersama seorang pria yang Anggi perkirakan sebagai ayah laki-laki itu.

Matanya terus memerhatikan laki-laki itu. Seolah hanya ada satu objek yang ada dimatanya. Anggi berpikir kalau laki-laki itu adalah anak baru. Karena ia tak pernah melihat wajah itu sebelumnya.

Tiba-tiba pandangannya terhalang oleh badan besar milik guru killer yang tadi menghukumnya, siapa lagi kalau bukan Pak Hasan. Anggi lantas membuyarkan pandangannya dan menatap serius bendera merah putih.

"sudah, sekarang balik ke kelas" kata Pak Hasan. Lantas Anggi menurunkan tangannya yang sudah kesemutan itu.

Tanpa perkataan lagi, Anggi mengamit tasnya lalu berjalan kedalam kelas.

Sebelum itu Pak Hasan berpesan, "ingat! Jangan buat ulah lagi"

Anggi tetap berjalan tanpa menggubris perkataan gurunya itu. Ia bosan sesungguhnya harus menghadapi ini. Dihukum.

Sesampainya dikelas ia menaruh tasnya dikursi lalu duduk dan memasang kembali earphone-nya. Ia beruntung kali ini freeclass.

Saat sedang asik mendengarkan lagu, tiba-tiba earphone-nya dicabut seseorang. Dengan emosi Anggi menoleh ke orang itu. Ia mencebikan bibirnya kesal lalu mengamit sebelah earphone-nya dari tangan orang itu.

"di apain lu sama Pak Hasan?" Tanya cowok yang tak beda jauh penampilannya dengan Anggi--Juna.

"gak usah sok nanya deh, lu juga udah tau" jawab Anggi ketus sementara Juna hanya terkekeh.

"Lagian udah tau ada pelajaran si killer itu, masih aja telat" kata Juna sambil memasangkan sebelah earphone yang tadi dilepas Anggi ke lubang telinganya.

Tanpa mengalihkan pandangannya dari handphone, Anggi menjawab "yee, gak usah sok nasehatin gue deh lu! Gue sama lu tuh gak beda jauh"

Lagi-lagi Juna hanya terkekeh.

Ya, Juna. Juna adalah sahabat Anggi. Anggi bersahabat dengan 5 anak laki-laki dan 1 anak perempuan. Mereka adalah Arya, Juna, Dika, Denis, Rey dan Dira. Sudah pasti mereka adalah anak-anak yang serupa dengan Anggi. Berpenampilan semau mereka, sering dihukum, pembuat onar. Memang semua berasal dari pergaulan bukan? Anggi bergaul dengan orang seperti itu. Sudah pasti ia ikut-ikutan seperti mereka. Tapi justru Anggi berpikir kalau orang-orang seperti mereka lebih pantas dianggap teman dibanding orang yang baik didepan saja. Mereka tidak membicarakan hal buruk dibelakangnya namun mereka akan langsung mengatakannya pada Anggi. Maka dari itu Anggi lebih memilih berteman dengan mereka berenam. Lebih asik dan natural. Meski ia tahu ia sudah terkena dampak buruknya.

A/n :

Hai, so ini cerita kesekian yang gue publish. Ya, meskipun cerita lainnya udah gue unpublish sih. Gue butuh support dan vomments kalian. Karena yang gue rasa, komen dan vote kalian itu sangat membantu untuk jadi motivas. So, kerja sama ya genk😁

XoXo

Chaliza

Imma Bad GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang