Patahan Kesatu

62.5K 6.5K 327
                                    

       

Mulmed : Lilyana.
**
Aya tidak melihat kapan tepatnya tangan besar itu datang dan menghempaskan tubuhnya ke dinding. Wanita itu hanya bisa meringis dan memejamkan mata karena rasa pusing yang menderanya, namun pria yang menahannya tak punya belas kasihan karena langsung memberinya pertanyaan bernada geram, "Siapa anak itu?!"

Dengan hati-hati Aya membuka mata. Suaranya seperti keluhan ketika bertanya, "Anak yang mana?"

"Anak perempuan kecil itu!" Pria di depannya menggeram lagi, "Yang tadi memanggilmu Mama!"

"Oh Lilyana," Sahut Aya tenang, tangannya bergerak memijat kening sewaktu menjawab, "Masa kamu nggak bisa nebak?"

"Apa maksudmu?!"

Meskipun masih ada ekspresi kesakitan di wajahnya, nyatanya Aya bisa terkikik geli, "Anakku lah, Mas! Kalau anak orang lain, nggak mungkin manggil aku Mama. Iya kan?"

Merasa telah dipermainkan, pria di depan Aya menggertakkan gigi. Suaranya gemetar ketika bertanya, "Apa dia anakku?"

Kedua mata Aya membulat, lagi-lagi wanita itu terkikik, "Anak kamu? Ya bukanlah! Bercanda aja kamu."

Si pria menyipitkan mata tanda tak menghargai sikap Aya barusan. Bukannya terlihat takut atau merasa terintimidasi dengan kehadirannya, Aya justru terlihat sangat geli karena pertanyaannya. Tapi karena ia ada di posisi membutuhkan jawaban, pria itu tetap bertanya, "Berapa umurnya?"

"Empat tahun lima bulan," Aya menjawab dengan nada kalem dan senyuman manis yang setia menempel di bibirnya, "Tahun depan udah masuk TK."

Si pria mengerutkan kening ketika menghitung mundur di dalam benaknya. Kedua matanya nyalang ketika mendapatkan angka yang dicarinya, "Tepat dengan waktu ketika kamu mengaku hamil padaku!"

"Yang benar?" Aya berlagak lupa ingatan. Wanita itu menghitung-hitung dengan jemarinya, kemudian berkata dengan nada takjub, "Iya juga. Kebetulan banget hitungannya sama ya Mas?"

"Kebetulan?" Si pria megap-megap kehabisan napas mendengar nada polos yang dilontarkan Aya ke depan wajahnya. Ekspresi pria itu terlihat seperti ingin mencabik-cabik Aya ketika kembali menggeram, "Itu artinya dia anakku, sialan!"

"Oh bukan, Mas. Bukan!" Aya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan dramatis, "Lilyana bukan anak kamu, setidaknya karena dua alasan. Pertama, kamu nggak pernah mengakui kehamilanku beberapa tahun lalu. Kamu malah yakin banget kalau janin yang ku kandung itu anaknya laki-laki lain. Kedua, kamu minta aku untuk menggugurkan anak itu. Kamu ingat kan, kamu sampai ngasih uang dua puluh lima juta waktu itu? Aku membunuh anak itu dengan uang pemberian kamu, jadi Lilyana bukan anak kamu."

"Kamu!!!"

                Aya tersenyum puas melihat pria di depannya megap-megap tak sanggup bicara. Dan seakan dewi keberuntungan sedang berpihak padanya, satu suara kecil menyela percakapan mereka sehingga pria itu terpaksa mundur tiga langkah, sekaligus menghancurkan aura mengintimidasi di antara mereka.

"Mama ngapain?" Lilyana muncul dari kamar rawat Ibunda Nat. Kuncir rambutnya bergoyang-goyang ketika menghampiri Aya sekaligus memberi lirikan curiga pada pria di depan Ibunya.

"Mama lagi ngobrol dengan teman lama," Aya menjawab sambil mengulurkan tangan pada Putrinya, "Sini Nak, kenalan dengan Om temannya Mama."

                Lilyana menyipitkan mata dengan ekspresi menilai. Bocah itu mempelajari tatapan curiga itu dari Pamannya yang sombong dan songong, tapi karena Lilyana memang masih berusia empat tahun, bocah itu hanya menirukan apa yang dilihatnya tanpa benar-benar memahaminya. Buktinya bocah itu justru lebih dulu mengulurkan tangan kepada pria di depannya, sambil tak lupa menyebutkan nama, "Lilyana."

Patah #2 - Slow UpdateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang