Kamera, Kelulusan dan Musim Semi

70 5 4
                                    

Aku dan kekasihku berjumpa tiga tahun lalu. Di satu musim semi saat acara pekan Indonesia di sebuah kampus. Aku sedang mengantri di stand makanan Indonesia dan dia berdiri di belakangku. Perkenalanku dengannya cukup memalukan bagiku. Dia membayarkan makanan yang kubeli karena aku belum begitu paham dengan mata uang yen. Begitu malu rasanya dibayarkan oleh seorang gadis. Karenanya aku buru-buru menghampirinya yang kembali ke tempat teman-temannya menunggu.

"Maaf, ya Mbak. Ini saya ganti sekarang uangnya." Dengan terburu-buru aku mengeluarkan lembaran seribuan dari kantongku. Teman-temannya saling berbisik dan dia tampak risih.

"Udah nggak usah diganti, Mas. Anggap aja saya yang traktir, sesama orang Indonesia ini."

Dari situ, kami berkenalan dan ternyata dia mahasiswa setahun lebih tua di atasku. Kami memang tidak satu kampus, tapi tinggal di kota yang sama. Mungkin karena sama-sama dari Indonesia atau kasihan denganku yang masih buta dengan Jepang dan kota tempat tinggalku, secara sukarela dia banyak mengajariku hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama di Jepang, referensi supermarket murah hingga mencarikanku pekerjaan sambilan di tempatnya.

Musim panas tahun itu, aku menyatakan suka padanya. Waktu itu kami bersama senpai* di tempat kerja berencana menonton hanabi taikai―pesta kembang api ke kota sebelah. Itu adalah pesta kembang api pertama buatku, makanya aku membawa kameraku turut serta.

"Kamu suka memotret, ya?" Tanyanya di kereta yang penuh sesak oleh orang-orang yang juga ingin menonton kembang api. Kami berdiri karena tidak kebagian tempat duduk.

"Emang kamu nggak pernah lihat feed instagramku?"

Dia tertawa. "Gimana aku bisa lihat feed instagrammu? Kita bahkan nggak temenan di instagram atau facebook. Aku cuma tahu LINE-mu."

Kemudian aku menyadari kesalahanku. Ya, aku tak pernah berhubungan dengannya selain lewat LINE. Kuurungkan niat menanyakan akun instagramnya karena aku tak mau menganggu dia yang asyik menikmati pemandangan di depannya: sawah. Wajah sampingnya terlihat cantik. Aku baru menyadarinya saat itu. Jantungku berdebar lebih kencang, seperti habis ngopi bergelas-gelas.

Entah refleks atau naluri fotografer, aku mengarahkan kameraku ke wajahnya. Seketika dia sadar dan menutup lensaku. "Ngapain foto pas lagi kaya gini? Ganggu yang lain, tahu."

"Kok kamu nggak pake yukata** kaya yang lainnya?" Aku menurunkan kameraku.

"Ribet. Tahun lalu aku pakai yukata. Pulangnya udah ndak berbentuk. Mana jalan jauh..." Pembicaraan kami terputus mendengar pengumuman di kereta. Kami telah sampai di stasiun tujuan.

Pesta kembang apinya benar-benar meriah. Aku banyak sekali mengambil gambar. Dia duduk di sebelahku. Sesekali bersorak saat melihat kembang api meluncur. Sama sekali tidak terlihat sibuk memotret atau merekam dengan handphone seperti yang lain. Aku jadi ingin mengabadikan ekspresi wajahnya saat melihat kembang api. Tapi dia selalu berhasil menghalangiku mengambil gambar wajahnya.

"Fokus ke kembang apinya, dong. Jangan ke mukaku." Ujarnya berkali-kali sambil menepis lensaku. Dan ditepisan yang entah keberapa, ku tangkap lengannya.

"Kalau aku fokus ke kamu, boleh?" Kugenggam erat tangannya.

Di bawah cahaya temaram kulihat wajahnya tampak memerah dan terkejut. Kembang api sekali lagi meluncur ke atas. Berbarengan dengan suara kembang api, dia mengangguk. Sejak itu kami resmi menjadi kekasih.

Berpacaran dengannya adalah hal yang paling membahagiakan. Jauh dari keluarga dan tinggal di negeri orang, memiliki kekasih di dekatmu adalah hal yang paling indah. Dia selalu menyemangatiku, terutama saat kami sama-sama sibuk membuat laporan akhir semester. Kadang dia memasak banyak makanan untukku. Katanya aku terlalu kurus, nggak enak saat dipeluk.

Berpacaran dengannya juga tidak pernah membosankan. Dia gadis yang spontan. Pernah dia menciptakan permainan yang disebutnya sebagai "missing lyric" hanya karena bosan. Mulanya aku kaget saat dia mengirimkanku LINE dengan tulisan: "Come up to meet you."

Aku heran karena tidak biasanya dia berbahasa Inggris denganku. Tapi aku tetap membalas, "Sure. Then come". Dibalasnya dengan "Tell you I'm sorry." Yang hanya kubalas dengan "?" Dan "Kamu kenapa?"

Saat aku mencoba menelponnya, dia tak mengangkatnya tapi muncul mendadak di apartemenku. "Karaoke, yuk. Aku lagi suntuk. Perlu nyanyi lagu Coldplay." Rupanya dia hanya menuliskan lirik lagu Coldplay di chat itu. Setelahnya, setiap kali dia mengirimkanku tulisan yang seperti lirik lagu, itu berarti dia sedang bosan dan ingin karaoke.

Hal yang mengherankan selama kami berhubungan adalah, belum pernah sekalipun aku bisa mengambil gambar wajahnya. Foto dirinya yang bisa kutangkap hanyalah siluet tubuhnya dari belakang, dia yang sedang menutupi wajah dengan kedua tangannya atau bersembunyi di balik buku. Dia selalu menolak jika kufoto atau kujadikan model. Saat di Indonesia dulu, teman sekolahku yang perempuan selalu berebut hendak difoto. Aku tak pernah mengerti jalan pikiran kekasihku yang berbeda dengan kebanyakan gadis lain. Padahal wajahnya cukup manis dan cantik.
Aku pernah bertanya alasan penolakannya, tapi dia selalu tersenyum alih-alih menjawab.

Di musim semi di tahun ketigaku ini, tepat di hari kelulusannya, aku datang. Selesai acara, dia menghampiriku dan tiba-tiba berbisik di telingaku, "Kamu boleh memotretku sekarang."

Ditariknya tanganku ke halaman kampus. Banyak mahasiswa yang juga berfoto di sana. Di bawah langit biru akhir bulan Maret, di bawah pohon sakura yang belum mekar sempurna, dia berdiri menghadapku. Gadisku mengenakan furisode dan hakama** pinjaman dari dosen pembimbingnya. Dia sudah mirip orang Jepang saja. Aku sudah siap dengan kameraku dan mengambil beberapa potret dirinya yang anggun.

 Aku sudah siap dengan kameraku dan mengambil beberapa potret dirinya yang anggun

Ups! Ten obraz nie jest zgodny z naszymi wytycznymi. Aby kontynuować, spróbuj go usunąć lub użyć innego.

"Kamu ingin tahu kenapa aku tidak mau difoto?"

Aku memalingkan wajah dari lensa kamera ke arahnya. "Aku udah nggak penasaran lagi sih, sekarang. Tapi kalau kamu mau cerita, nggak apa-apa."

Kami memilih duduk di salah satu bangku panjang yang kosong. Dia memandang ke kejauhan, ke keriuhan wisudawan yang masih asyik berfoto. Aku mengikuti arah pandangannya. Menanti dalam diam.

"Saat kamu memotoku, kamu melihatku melalui lensa kamera itu, bukan dari matamu. Ada jarak antara aku, lensa dan matamu. Aku hanya ingin kamu melihatku langsung dari matamu, tidak terdistraksi oleh kamera."

Rupanya begitu. "Lalu kenapa hari ini mau difoto? Apa karena ini kelulusanmu?"

Dia menggeleng, "Karena mulai hari ini kita akan berjarak. Aku mau kita berpisah saja. Aku...sudah dijodohkan orangtuaku. Minggu depan aku pulang dan akan menikah."

"Kamu ngomong apa? Pisah karena dijodohkan?" Aku tertawa. Berharap ini cuma salah satu lelucon khasnya. Tapi gadisku menatapku serius. Matanya berkaca-kaca. "Aku bisa belajar ke Jepang karena menyanggupi perjodohan ini. Terlalu rumit kalau kujelaskan sekarang."

Gadisku bangkit. Ah, masih bisakah kupanggil dia gadisku?

"Ayo bantu aku mengambil beberapa foto lagi. Untuk yang terakhir kali." Ujarnya sambil berlalu. Ditinggalkannya aku yang masih terhenyak. Detik ini tiba-tiba aku benci kamera, kelulusan, musim semi dan bulan Maret.

Catatan:
*senpai : Kakak kelas; senior di kampus atau di tempat kerja
** yukata : kimono musim panas dari bahan katun dan hanya satu lapis
**furisode dan hakama: sejenis kimono berlengan lebar biasa digunakan wanita yang belum menikah; sedangkan hakama adalah sejenis celana panjang yang dikenakan di bawah furisode
Cerita ini terinspirasi dari artikel di Huffingtonpost http://www.huffingtonpost.co.uk/2016/01/05/photographer-takes-pictures-of-camera-shy-girlfriend_n_8915692.html
Sumber gambar: http://amanaimages.com/info/infoRF.aspx?SearchKey=07800048746

SemusimOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz