Musim Kawin di Tambun

113 3 8
                                    

(Untuk Inne)

Stasiun Jakarta Kota di sore hari. Hujan akhirnya berhenti turun. Bersamaan dengan itu kereta yang telah lama kunanti, tiba di peron. Aku ikut berdesakan naik ke dalam kereta. Lalu berhasil menemukan tempat untuk duduk. Segera kuhempaskan diriku, sebelum orang lain mengambilnya. Jakarta keras, bung! Di sini cuman ada prinsip direbut atau merebut. Hei, direbut dan merebut? Tanpa sadar aku tersenyum sinis.

Dengan hati-hati kukeluarkan hape dan headset dari totebag ku. Bersiap membunuh waktu selama perjalanan menuju rumahku di Tambun dengan menonton lanjutan Grey's Anatomy. Cukup lama aku terhanyut dalam tontonan, saat aku merasa ada seseorang yang memperhatikanku. Aku semakin menaikkan volume hape dan semakin menunduk. Jangan-jangan ada yang mau nyopet gadis manis nan gemulai macam aku.

"Ini...Neng...?" samar-samar kudengar yang bertanya. Aku masih tidak berani mendongakan wajah. Walau sudah hampir berusia seperempat abad, aku masih memegang teguh prinsip yang diajarkan ibuku sejak kanak-kanak, "Don't talk with stranger." alias jangan berbicara sama orang yang tidak dikenal.

Sebuah tepukan mengagetkanku. Aku sudah mau teriak saja, tapi tidak jadi saat melihat siapa yang menepukku. Seorang pria yang mengingatkanku akan masa lalu. Kami saling bertatapan. Aku tidak mendengar apa yang dikatakan pria yang berdiri di depanku ini. Aku hanya fokus pada matanya. Oh, mengapa matamu mirip mata mantanku yang susah kulupakan?

Pria di depanku ini melambaikan sebuah benda yang tampak tidak asing lagi, sembari bertanya, "Ini punya neng?" akhirnya bisa kudengar jelas pertanyaannya.

"Dompet gue! Kok bisa ada di elu? Lu copet ya?" aku segera berdiri. Mencopot headset, mengambil dompet itu dari tangannya lalu kemudian duduk lagi.

Sekali matanya menatap tajam padaku. Ah, tatapan itu lagi. Stop. Berhenti menatapku seperti itu. Aku bagai superman yang sedang kena pengaruh batu krypton. Lemah.

"Jangan asal nuduh. Mana ada copet mau balikin dompet korbannya? Gue mungut dompet lu yang jatuh. Dari tadi gue manggil lu kaga nyaut. Coba tanya sebelah lu noh."

Aku melirik orang di sebelahku. "Gimana mau nanya orang sebelah kalau dia tidur? Ya udah gue minta maaf." Aku berkata pelan dan menghindari tatapan matanya.

"Lu tadi nonton Grey's Anatomy ya?" tiba-tiba dia bertanya lagi.

"Iya, kenapa?"

"Gue juga suka tuh series. Pemeran favorit lu siapa? Udah nonton sampe season berapa lu ?"

Tiba-tiba obrolan kami menjadi hidup. Gara-gara Grey's Anatomy. Aku selalu bersikap waspada sebelumnya di kereta, apalagi sama orang asing, lelaki lagi. Tapi ada insting dalam hatiku yang entah mengapa merasa kalau orang ini orang baik. Lalu entah sejak kapan, kami saling membicarakan hal lain selain Grey's Anatomy. Belum pernah aku merasakan bisa langsung merasa sedekat ini dengan orang asing. Mungkin karena dia mirip mantan?

"Lu turun di mana?" aku bertanya saat ada pengumuman kereta akan berhenti di Stasiun Senen.

"Di Tambun." Jawabnya. Lalu duduk di sebelahku, setelah orang di sampingku bersiap turun di stasiun ini.

"Hei, gue juga turun Tambun. Lu orang Tambun juga?"

"Dulunya. Gue ada janji di Tambun. Males naik mobil dan tumben nih naik kereta."

"Oh, kirain..." aku sejenak merasa kecewa. Merasa tidak akan bertemu kembali dengannya.

Lalu kami mengobrol lagi. Dan tiba-tiba dia menceritakan hal pribadinya padaku. Kadang hidup memang aneh. Kamu bisa merasa nyaman menceritakan hal pribadi pada orang yang tak dikenal. Mungkin karena mereka bisa memberikan saran atau sudut pandang yang berbeda. Mungkin juga karena kalian cuma sekali bertemu dan kisahmu pun akan aman, karena kalaupun dia menceritakannya pada orang lain, kalian tidak saling kenal. Entahlah.

Aku mendengar semua cerita yang mengalir dari mulutnya. Tentang kisah patah hatinya. Tentang mantannya yang mirip denganku. Mantannya menikah minggu ini dan dia ragu mesti datang atau tidak. Aku merinding. Kisah kami terlalu mirip! Apa jangan-jangan dia mantanku dari dunia paralel?

Baru seminggu lalu aku mengalami dilema yang sama. Aku ditinggal kawin kekasihku yang memilih menikahi tetangganya, setelah putus dua bulan dari aku. Padahal kami sudah berpacaran selama 5 tahun, dari awal kuliah hingga kami diterima bekerja. Selama berpacaran kami beberapa kali putus-nyambung. Saat putus denganku entah untuk yang keberapa kali, ku pikir kami akan segera balikan.

Ternyata aku salah. Aku masih ingat saat dia ke rumah. Aku sudah siap untuk memaafkan, sama seperti yang sudah-sudah. Namun ternyata dia datang ke rumahku bukan untuk minta maaf, melainkan menyerahkan undangan pernikahan. Aku hancur. Remuk, hilang bentuk, kalau kata Amir Hamzah.

"Datang aja. Gak ada salahnya kok. Sekalian nunjukin kalau lu baik-baik saja tanpa dia. Yah, meski aslinya remuk redam. Gue juga datang ke kawinan mantan. Berusaha ngehargain aja sih. Tapi cuman 10 menit. Gak tahan kalau lama-lama." aku tertawa. Menertawakan diri sendiri. Entah kenapa rasanya menceritakan hal memalukan itu padanya sekarang, jadi tampak lucu.

Sebentar lagi kereta berhenti di Tambun. Kami bersiap-siap untuk turun. Tiba-tiba hapenya jatuh saat dia bangkit. Aku memungutnya dan sempat melihat wallpaper di hapenya sebelum menyerahkannya.

"Wallpapernya masih foto gue ama mantan. Susah banget move on ya?"

Aku hanya tersenyum. Mata dan
senyum mantannya memang sedikit mirip denganku. Yang berbeda adalah, mantan kekasihnya seorang lelaki, sedang aku perempuan.


~Fin~

Catatan:
Tokoh dalam cerita ini menggunakan kereta api lokal Cikampek Purwakarta. Karena tidak ada commuter line yang langsung turun di Tambun, Bekasi. Commuter line dari Stasiun Jakarta Kota hanya sampai Bekasi, tidak melewati Stasiun Senen dan mesti ganti kereta di Stasiun Manggarai.

SemusimWhere stories live. Discover now