"Tas lo isinya apaan? Batu? Beratnya ngalahin kapan titanic," komentar Rahagi seraya berlalu.

Inara memutar bola matanya seraya menyandang tasnya di punggung. "Yakale." gadis itu menyusul Rahagi. Dari arah yang berlawanan, Bayu datang dan berjalan di sebelahnya.

Mereka menyusuri jalan setapak menuju villa yang sudah disewa oleh Putra untuk seluruh anggota Blackpole. Rahagi berjalan di depan, sedangkan Bayu dan Inara berjalan bersisian.

"Gue nggak nyangka lo akhirnya masuk," ucap Bayu tiba-tiba.

Pikiran Inara terlempar pada masa orientasi siswa yang dilaluinya setahun yang lalu.

"Padahal, lo tahu Blackpole nggak diakui sekolah," sambungnya.

Inara tersenyum. "Soalnya apa yang keliatan dari luar, belum tentu dalemnya kayak gitu, Bang."

"Eh nggak usah panggil 'bang'!" elak Bayu.

"Tapi kan lo emang abang gue sekarang, Bang." Inara terkekeh.

"Iya juga, ya." senyum Bayu terukir di bibirnya. Kakak tirinya itu memang suka tersenyum.

Senyuman lelaki di sebelahnya berhasil menghilangkan fokus Inara. Kaki perempuan itu tersandung marmer yang menyusun jalan setapak.

"Aduh."

Untungnya, tangan Bayu dengan sigap lengan Inara sehingga tubuh gadis itu tidak mencium tanah. Rahagi yang mendengar itu refleks menoleh ke belakang, dan menemukan Inara dan Bayu dalam posisi yang... terlalu dekat menurutnya.

"Makasih, Kak." Inara tersenyum canggung.

"Terpesona boleh, tapi jangan sampe jatuh," ucap Bayu.

Inara meringis malu mendengar ucapan Bayu.

Lelaki itu hanya menanggapi dengan senyuman. Jauh di balik itu semua, makna 'jatuh' yang dimaksud Bayu berbeda dengan makna 'jatuh' yang ditangkap Inara.

Nyatanya, lelaki itu sedang menertawakan dirinya sendiri di balik kata-katanya. Sejak awal bertemu, ia sudah terpesona pada Inara. Bahkan, sudah jatuh untuknya. Namun, takdir sudah ditentukan. Inara tidak akan pernah menjadi miliknya.

Rahagi hanya menatap mereka berdua dengan tatapan datar, lalu melanjutkan langkahnya.

"Bisa aja lo, Bang," jawab Inara seraya kembali berjalan menyusul Rahagi.

"Ngomong-ngomong, temen gue kirim salam buat lo." Bayu menyejajarkan langkahnya dengan Inara.

"Waduh, temen yang mana tuh, Bang?"

"Kalo gue bilang, lo nggak bakal kenal juga, kan?"

"Iya sih..." Inara menggaruk tengkuknya.

Bayu tertawa melihat ekspresi Inara.

"Jalan yang cepet woi," gerutu Rahagi tiba-tiba. "Dasar lelet."

"Ini udah cepet, Begs," jawab Inara.

"Pms lu, Rag?" tanya Bayu.

Rahagi mendengus, kemudian mempercepat langkahnya.

"Yah, doi ngambek."

"Doi marah-marah mulu. Mana datar banget jadi orang. Pantes nggak punya pacar," komentar Inara.

"Doi emang gitu. Moodswing parah. Pikirannya juga nggak ketebak."

"Emang Rahagi nggak pernah deket sama cewek ya, Bang? Kok kayaknya 'kurang perhatian seorang perempuan' banget?"

Bayu tergelak. "Wajar aja sih. Nyokap gue meninggal waktu ngelahirin Ragi. Jadi, ya gitu deh."

AntipoleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang