"Ah, kau sudah bangun."

37 4 0
                                    

Suara yang berat dan keras menyambutku. Pria itu berdiri bersandar di sudut dinding sebelahku. Dengan kaos singlet dan jins panjang dia seperti pekerja kasar yang sering dipanggang hari dengan kulit coklat, otot pundak dan lengan yang seimbang.

Aku tak menjawab. Aku melihatnya dari mataku yang mencuat dari ruang yang kubuat antara lutut, tubuh, dan tanganku yang dilipat. Aku tak merasa sehat setelah tidurku. Aku tak merasa semangat mendengar seseorang menyambutku. Aku melihat langit-langit dan menemukan alasanku kembali untuk tetap menunduk di dalam ruangan ini. Dua orang tak bernyawa terayun-ayun mengikuti angin. Mata keduanya terbuka mulutnya menganga ke bawah. Aku ingin cepat keluar.

Ruangan ini seperti kamar mandi hanya tanpa bak mandi, jamban, gantungan alat mandi atau apapun yang biasa ada di kamar mandi. Ini hanya ruang persegi panjang dengan keramik-keramik licin melapisi dinding, lantai, dan langit-langit. Benar-benar persegi panjang.

Tidak banyak yang bisa kulakukan. Setiap harinya hanya berkeliling tempat ini, melihat mereka yang sama-sama terperangkap di sini, menyapa singkat, berkeliling lagi. Jika sedang bersemangat aku bisa melompat-lompat, tapi tidak setelah salah satu dari mereka tergantung di atas. Tidak tahu alasannya, lagi pula aku memang jarang bicara dengan mereka semua. Aku ingat yang pertama adalah wanita berjilbab berbaju garis horizontal dan jins ketat. Aku tidak suka dengannya. Dia terlalu aktif, terlalu cepat. Dia bergerak cepat, berbicara cepat, menyapa setiap orang dan berbicara tanpa jeda lalu pergi sebelum lawannya sempat membalas. Dia juga tidak suka kepadaku terlihat dari caranya menghindari ketika berkeliling atau melewatiku ketika menyapa semua orang tiap hari. Dan, suatu hari dia seperti zombi! Dia menjadi kebalikan dirinya. Pasif dan lamban dia bergerak sangat malas tubuhnya miring ke kiri dan kanan ketika berjalan dan dia sadar. Dia berjalan berkeliling bertanya pada tiap orang "Aku kenapa?! Aku kenapa?!" dan tiap orang hanya mengangkat bahu dan melihat aneh mengetahui kebiasaan wanita itu membuat mereka semua tak terlalu berusaha menjawab. Kemudian saat aku terbangun lagi dia sudah menggantung di langit-langit.

Orang kedua pun aku tak terlalu mengenalnya. Dia gendut, hitam, dan berbau busuk. Setiap hari yang dia lakukan hanya berlari-lari mengelilingi ruang ini meneriakkan "Ada yang punya makanan?!" dan ya, hanya itu yang ada di pikirannya dan coba pikir siapa yang ingin menjawab atau dekat-dekat dengan orang yang pikirannya sesempit dan serakus itu. Setiap makanan datang kami seperti berhadapan dengan Goliath. Berhari-hari dengannya kami belajar lebih baik menunggu daripada terluka. Makanan selalu banyak bahkan orang seperti dia pun tak sanggup memakan semuanya. Meskipun aku merasa buruk betapa bagusnya makanan itu aku merasa memakan makanan sisa. Suatu hari keajaiban turun berupa hujan makanan. Yah, hujan sesungguhnya. Makanan berjatuhan begitu banyak bahkan terlalu banyak. Si gendut begitu gembira dia berkeliling ruangan dengan tangan menadah dan mulut mengunyah. Aku sesekali mengambil sedikit sebelum terinjak oleh Goliath, yang lain juga melakukan yang sama. Jadi kami mengambil sedikit-sedikit dan membiarkan si gendut makan sepuasnya. Kami semua tak berhenti makan. Perut kami membesar sangking kekenyangan tapi tak ada yang bisa mengalahkan Goliath. Saat kami sudah berdiam tak mampu bergerak dia masih berkeliling menghabiskan sisa makanan yang ada. Aku tertidur dan terbangun melihatnya telah menggantung. Tak ada yang bicara mengenai keduanya. Dari mata aku tahu mereka melihat dua orang itu, tapi aku tak tahu kenapa tak ada yang bicara tentang kehilangan malah sepertinya mereka berdua tak pernah ada sebelumnya.

Sekarang jika aku melihat sekitar hanya tersisa aku, pria yang menyambutku barusan, dan tiga anak kecil yang sedang bermain di sudut lain ruangan. Ruangan ini terlihat semakin luas saja dan aku jadi semakin malas bergerak. Langit-langit tampak terbuka, aku bisa melihat benda terang di balik keramik licin itu. Sebuah tangan sangat besar masuk kedalam berusaha menggapai dua orang yang tak bernyawa tersebut. Aku terkejut bukan kepalang untuk pertama kalinya tanganku terbuka, jatuh ke tanah, dan merasakan dinginnya keramik licin tersebut.

Aku terbangun lagi mendapati terang lampu ruang televisi. Ventilasi di atas pintu memperlihatkan pagi telah bangkit. Televisi mati di depanku, di sampingnya aquarium ibuku yang keruh, berbusa, dan dua ikan kecil dan gendut mengambang mengikuti air. Sudah dua hari. Aku geli dan tak tahan lagi. Jika tak ada yang mau membuangnya aku akan buang sendiri. Aku bangkit dari sofa dan ke dapur mengambil jaring kecil. Aku terjatuh, kakiku lemas, tanganku menyentuh keramik lantai dingin. Kedua orangtuaku gantung diri. Aku tak akan terbangun lagi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 24, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mengambang, MenggantungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang