Part 1. Prolog

6.4K 181 11
                                    

Siska :

Satu jam berlalu. Kedua mata masih fokus membaca soal demi soal di selembar kertas. Sesekali melirik jam yang tergantung di dinding bagian depan, memastikan masih ada sisa waktu untuk mengisi jawaban. Semua penghuni kelas sibuk dengan kegiatannya, begitu pun sang dosen yang sedari tadi berjalan mengelilingi kelas. Terkadang duduk sebentar, menit kemudian kembali melangkah. Lengkap dengan sorot tajamnya.

Aku tersenyum, menyadari semua pertanyaan sudah terjawab. Tak menunda waktu, segera berdiri memberi isyarat.

"Silakan, simpan di meja!" perintah lelaki paruh baya berperawakan tinggi kurus itu, lalu memberi isyarat menunjuk pintu.

Aku mengangguk hormat.

"Lega ...," desahku saat sudah berada di luar. Merentangkan tangan dan menghirup napas kuat-kuat, mengembuskannya lewat mulut.

"Siska!"

Aku menoleh. Terlihat perempuan seumuranku berlari menghampiri, salah satu mahasisiwi kampus juga.

"Hai, Luna! Ada apa?" sapaku, ketika dia sudah berdiri di hadapan. Wajahnya pucat, dengan napas terengah-engah.

"Aku ada perlu, Sis. Bisa minta waktunya, bentar aja?"

"Boleh. Aku juga mau pulang, kok!"

"Mmm, kalau gitu sambil jalan, ya?"

Aku mengangguk.

Baru beberapa langkah, Luna tergesa merogoh ponsel dalam tasnya. "Halo, Kak! Iya, ini aku lagi usahain."

Luna terdiam. Raut wajahnya tampak sedih juga cemas. Sesekali melirik gelisah ke arahku. Hingga akhirnya menyimpan kembali ponsel dengan gerak lemah.

"Kenapa? Ada masalah, ya? Itu telpon dari siapa?" tanyaku penasaran.

"Kak Lutfi. Mama ... masuk rumah sakit, Sis. Terus, harus di operasi hari ini juga," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

"Astaga! Ya udah, kita langsung ke rumah sakit, ya!"

Luna mengangguk.

Di taksi Luna bercerita tentang keadaan sebenarnya.

"Udah dua tahun Mama sakit paru-paru. Mestinya dari dulu di operasi, tapi Papa yang cuma karyawan biasa, mana sanggup membiayai operasinya. Gaji sebulan Papa habis buat makan, biaya kuliah aku, sekolah Lusi. Tabungan Kak Lutfi juga udah mulai menipis dipakai berobat Mama. Sampai kemarin kondisi Mama drop, dokter bilang mesti cepet di operasi. Kantor Papa udah kasih kasbon tapi belum cukup, sedangkan operasi enggak boleh lewat hari ini. Aku bingung, enggak tau mesti gimana?" Luna terisak, menghapus bulir air mata di pipinya.

Aku mengelus pundaknya, memberi kekuatan.

"Itulah alasannya, aku ... aku mau minta tolong sama kamu, Sis. Barangkali aja kamu bisa bantu?" Suara Luna terdengar parau. Terlihat canggung di sorot matanya.

Aku tersenyum. "Oke, sekarang kamu tenang dulu, ya? Aku pasti bantu kamu, selama aku bisa." Aku memeluk Luna, mengelus punggungnya berusaha menenangkan.

"Makasih banget sebelumnya, Sis. Aku udah bikin kamu repot, sering banget susahin kamu selama ini."

"Udah, enggak apa-apa. Kamu temen aku, sesama teman harus saling menolong, 'kan?" Aku melepas pelukan, dan tersenyum kembali.

Luna mengucapkan terima kasih kembali, berkali-kali. Bahkan menggenggam erat kedua tanganku.

Sesampainya di rumah sakit, kami langsung menuju ruangan tempat mamanya Luna di rawat. Aku terharu, melihat keadaannya. 

Only You (END @Innovel/Dreame)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang