"Seandainya dia balik, lo gimana?"

Pelan, Amir bertanya dengan pelan, takut menyinggung perasaan Jiver.

"Balik?"

Jiver tertawa pelan, memandang Amir jenaka, tapi Amir tahu, ada luka di sana, ada luka di balik tawa milik Jiver, entah bagaimana lagi Amir menyebutnya. Luka itu tak kasat mata, mungkin hanya bisa dilihat oleh orang yang benar-benar mengenal Jiver secara dalam.

"Seharusnya kalau lo mau bebas ya bebas aja, nggak usah maksain diri sama hal yang nggak lo suka. Masuk jurusan ini misalnya, lo bukan orang yang suka bisnis atau hal-hal yang berhubungan sama dunia begituan, jiwa lo...nggak di sini, Ver."

Lagi...Jiver tertawa lagi, jenis tawa yang jika Amir dengar adalah sejenis tawa penuh keputusasaan.

"Gue...gue nggak akan bisa ngelawan apa pun, apa pun, Mir. Hidup gue bukan punya gue, lo...tahu itu."

"Mas Jiver...ini stempelnya hilang loh, boleh pesan lagi nggak?"

Tahu-tahu Yola berteriak, memanggil Jiver, menghentikan segala jenis obrolan yang sebenarnya hanya menguak luka lama laki-laki itu. Tanpa memandang Amir lagi, Jiver berdiri menghampiri Yola yang sedang diliputi kebingungan.

"Bikin aja, Yol. Uangnya masih sisa banyak kan?"

Yola mengangguk, sementara Nina tampak sibuk menyusun dana yang akan dia buat surat pertanggungjawabannya sampai sesuai dengan jumlah dana yang turun dari universitas.

"Gini nih...di mana-mana da unsur politik, sampai SPJ aja jadi rahasia umum, kalau apa yang kita belanjakan nggak sesuai sama apa yang kita laporkan, bikin stempel palsu buat toko misalnya, huft, yang atas ngajarinnya gitu, kita kan nurut aja, ya meski kayak begini jadinya," omel Nina, Jiver malah tertawa melihat gerutuan temannya itu.

"Sudahlah Nin, lo nikmatin saja. Gue tinggal dulu, gue ada kelas," pamit Jiver, lalu laki-laki itu pergi membawa tas ransel hitamnya.

***

Jiver sedang duduk-duduk di kantin kampus bersama beberapa orang teman-teman kampusnya, ada Amir juga di sana, laki-laki itu sibuk mengisap rokok sambil menikmati secangkir kopi hitam seharga tiga ribu milik ibu kantin. Jiver sendiri sibuk membuat coret-coretan tidak jelas di atas buku kecil yang biasanya selalu ia bawa kemana-mana. Hanya beberapa bait kalimat, dia memang senang melakukan hal itu semenjak SMA, malah pernah bercita-cita menjadi penulis atau masuk jurusan Sastra Indonesia ketika kuliah, sayang sekali lagi...ia bukan pemilik kehidupannya.

"Wuih mabanya bening-bening ya kalau udah kagak pake baju putih item gitu, beuh apalagi yang pakai kemeja hitam itu, mennn...cantik."

Suara Eki terdengar berisik di telinga Jiver, ditambah seru-seruan teman-temannya yang lain ketika melihat gerombolan maba yang sedang makan di kantin. Jiver tidak peduli, bukan urusannya juga.

"Ver, lo nggak mau gaet satu tuh maba? Gile men...bakal rugi lo kalau cuma diem malah sibuk sama buku butut lo itu, kelamaan jomblo ntar lo karatan," kata Eki sambil meninju bahu Jiver.

"No, lo saja, Ki."

Aki berdecak, "maho lo."

"Haha...kalau gue maho lo mau nggak jadi cewek gue?"

"Sinting."

"Hahaha..."

Jiver tertawa lagi bersamaan dengan beberapa teman-temannya yang juga menertawai Eki.

"Kayaknya gue mau nyepik yang kemeja item itu dah, gile bening gitu, maknyus pasti."

"Sarap," maki Yonat. Eki nyengir sambil menyesap vape aroma apel miliknya.

So I Married A SeniorWhere stories live. Discover now