Ch.18

1K 94 1
                                    

     Pukul 04.00 pagi. Belum ada tanda-tanda kembalinya mereka yang mencari Bagas. Biru sudah berada di rumah Bagas sejak satu jam setengah yang lalu. Hati Biru sempat tersayat melihat Wulan, Nenek Bagas menangis hingga meronta-ronta, sedangkan Arif-Kakek Bagas duduk termenung di teras rumah dengan pandangan kosong, seolah sedang menanti titik semu.

     Saat ini, Biru sedang duduk di tepi ranjang, menemani Wulan supaya wanita tua itu tertidur. Mata wulan membengkak karena terus mengeluarkan air mata, sungguh Biru sangat tidak tega melihat Wulan rapuh seperti ini. Dalam hatinya terbesit pertanyaan, akankah sang Bunda akan seperti Nenek Bagas saat Biru tak ada, hilang entah kemana? Biru menghela napas berat.

     "Gas, pulang dong... Gak kasihan sama Nenek? Nenek khawatir..." Lirih Wulan, beberapa detik kemudian tubuhnya kembali terguncang dengan hebat.

     Biru mengambil napas dan menghembuskannya pelan. Gadis cantik itu mengelus pundak Wulan dengan iba, sesekali Biru menghapus aliran air di pipi keriput Wulan dan memeluknya. Sedari tadi Wulan tak banyak bertanya dan seolah tak peduli siapakah gadis yang sedang menemaninya dan menenangkannya saat ini, mungkin efek karena terlalu mengkhawatirkan Bagas hingga beliau tak peduli keadaan sekitar.

     Drrrt...

     Drrrt...

     "Halo?" Sapa Biru dengan nada panik.

     "Ru!" Jerit seorang gadis di seberang sana. Suaranya benar-benar parau, perasaan Biru berubah menjadi tidak enak. Ada apa ini?

      "Al? Kenapa Al? Halo? Al? Ada apa, Al? Jawab, Al!" Cecar Biru kalut saat suasana di sekitar sana hening.

      Untuk sekedar informasi, Biru sudah keluar dari kamar Wulan, gadis itu sudah meminta izin kepada Wulan untuk menerima panggilan tanpa memberi tahu siapa yang meneleponnya. Untung saja Wulan tak banyak tanya dan memilih untuk merebahkan diri kala itu.

       "Hiks... Bagas, Ru..."

      Air mata Biru menetes satu persatu dengan tempo yang sangat lambat. Perasaannya benar-benar kacau mendengar suara di seberang sana seolah seperti memberi kode bahwa ia berduka.

      "Bagas, dia..."

      "Al! Jangan setengah-setengah dong! Kasih tau gue, dia kenapa, Al!" Ujar Biru dengan emosi yang mulai tersulut.

      Biru sangat tidak suka jika ada seseorang yang membuatnya penasaran setengah mati di saat genting seperti ini. Ia benar-benar benci harus mendengar suara terbata-bata seperti yang sedang di lakukan oleh orang yang sedang meneleponnya di seberang sana.

      "Bagas udah berhasil di temuin... Ta-tapi... Tapi dalam kondisi..."

      "...Mengenaskan."

       Apa katanya? Mengenaskan? Mata Biru membulat penuh, tak kuasa menerima kenyataan pahit beberapa detik yang lalu, ia tak mampu menahan air matanya untuk tidak terus mengalir. Dadanya sangat sesak mendengar fakta yang baru saja di tangkap oleh indra pendengarannya. Otaknya berputar, mengingat kembali mimpi yang baru saja ia alami tadi malam. Biru mencoba menyadarkan dirinya sendiri, ia mencoba meyakini hati bahwa ini hanyalah syuting pementasan drama.

       "Biru? Lo masih di situ kan?"

      "Ada satu saksi yang bilang, Bagas kecelakaan, dia ngendarain sepeda nya ngebut banget, pas lagi di tikungan ada motor melaju kencang yang pengendaranya mabuk, Bagas ketabrak dan kepental sejauh sekitar lima meteran,"

BIRU [HIATUS]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora