Act I

591 64 45
                                    


Myungsoo memandang langit-langit kamar mandinya, membayangkan bintang-bintang bersinar dan menari di pandangannya. Ia bersenandung, sebuah lagu yang kini sudah diingatnya dengan baik, sebuah hasil dari keputusasaan dan kehilangan harapan. Tubuhnya dibaluti oleh dinginnya air, terbaring di dalam bak mandi tanpa sehelai pakaian pun menutupi tubuhnya. Dingin—tapi ia hampir tak merasakannya. Mungkin, tubuhnya sudah terbiasa setelah terendam dalam air selama lebih dari sejam, atau mungkin juga kekosongan hatinya membuatnya menjadi tak peka pada hal lain.

Ia berhenti bernyanyi, dan kemudian tertawa seperti orang gila, menertawai diri sendiri, menertawai kehidupan, menertawai kehampaan yang masih menghantuinya. Ia tak sadar ada air mata berbenang di kedua matanya, sampai akhirnya pandangannya menjadi kabur. Ia merasa bodoh, ketika ia merasa seperti ini. Merasa seperti seseorang yang penuh dengan kekacauan.

Ia menghapus air mata tersebut dengan membenamkan wajahnya lebih dalam, membiarkan air menutupi seluruh bagian tubuhnya. Matanya tetap terbuka, penuh kekosongan. Pandangannya perlahan semakin kabur, membuatnya akhirnya menutup matanya, membiarkan dirinya tetap tenggelam meski ia sudah tak dapat bernafas.

Saat air mulai memasuki hidungnya, ia mulai bertanya pada dirinya sendiri, apa ini waktu yang tepat untuk mati?


_____


Orang-orang bersorak, kembang api meletus di udara, dan kertas-kertas konfeti berjatuhan dari langit.

Setidaknya, itu yang terjadi di imajinasi Woohyun ketika ia melihat nominal di ATM-nya.

Memang, jumlah yang sekarang telah tertera sebagai jumlah uang dimilikinya tidaklah banyak, namun setidaknya uangnya bertambah dan tidak terlihat terlalu miris. Bayaran untuk penampilan terakhirnya di sebuah musikal akhirnya masuk dan kali ini ia berharap bahwa bayaran tersebut tidak habis sebelum ia mendapatkan gig lainnya, entah itu dicast di sebuah musikal lagi atau menjadi guide untuk sebuah lagu yang akan berakhir menjadi milik orang lain. Ia merasa jarang mengeluarkan banyak uang, tapi karena jarak waktu antara perkerjaan yang didapatnya terkadang cukup panjang, terkadang uangnya selalu berakhir habis untuk kebutuhannya.

Ia menarik kembali kartunya dari ATM dan keluar, berjalan dengan bahagia kembali menuju ke restoran keluarganya, kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda ketika ia mendapat SMS notifikasi bahwa gajinya akhirnya dikirim. Saat ia sedang tidak sibuk melakukan suatu musikal, maka ia berakhir menjadi babu di restoran orang tuanya. Sayangnya ia bahkan tidak mendapat gaji dari pekerjaan ini, namun setidaknya ia menjadi anak yang baik membantu orang tuanya bekerja dan dengan begini, orang tuanya masih sudi memberinya makan meski ia adalah seorang pemuda dewasa yang terkadang terlihat seperti pengangguran.

Ia dengan cepat tiba kembali di restorannya, jarak antara ATM dan restorannya cukup dekat. Malam sudah cukup larut dan restorannya seharusnya sudah mulai tutup, namun tampaknya masih ada pembeli yang masih makan karena ia menemukan ibunya berdiri di kasir, seperti sedang menunggu.

"Bu, aku gak bisa bantu-bantu lama besok," Woohyun memberitahu ibunya, ketika ia akhirnya tiba, "Mau audisi."

Ibunya memandangnya dengan pandangan yang tak dapat terlalu dapat diartikan oleh Woohyun, namun ia hanya bertanya, "Lagi?"

"Iya," Woohyun mengangguk, "Yang lain kan, belum ada kabar. Lagipula yang ini musikal cukup besar, siapa tau dapat yang ini. Yang main sama pembuatnya, biasanya yang udah terkenal."

Ia sudah melakukan audisi untuk beberapa musikal, sejauh ini ia sudah pernah tampil di beberapa musikal yang diadakan oleh orang lain atau pun oleh orang yang tidak ia kenal. Sayangnya, biasanya ia hanya mendapatkan peran sampingan, belum terlalu dipercaya untuk menjadi peran utama. Dan biasanya musikal-musikal tersebut tak mendapatkan keuntungan karena peminat yang sedikit.

Night and DayWhere stories live. Discover now