Nina juga adalah seorang panutan bagi gue. Ah! gue yakin kalau Nina dengar omongan ini. Dia bakal menepuk kepala gue habis-habisan karena geli dengar kata panutan. Dia paling jijik sebenarnya kalau gue sudah bilang bahwa dia itu inspirasi banget bagi gue, khusus gue ya. Karena kalau yang ngomong orang lain, dia bakal menanggapi itu semua dengan senyum.

Nina itu orangnya ambisius, seperti yang gue bilang diawal saat gue kenal dia. Dia itu asisten dosen yang nge-gap gue jadi joki tugas kelas. Asdos, otomatis dia itu terpilih dari mahasiswa lainnya dan benar sih, dia lulusan cumlaude di kampus gue bahkan juga dapat gelar lulusan tercepat. Semua tercapai, jelas karena apabila Nina lagi mengejar suatu mimpi, pasti dia selalu bersikeras untuk menggapai mimpi itu, dia tidak mau gagal.

Gue tahu, benar-benar tahu. Bahwa keambisiusan Nina itu bersebab, bukan tanpa alasan. Dia bukan terlahir dari orang tua yang kaya, boro-boro kaya, bahkan Nina pernah bilang bahwa dia nggak pernah sekalipun tahu gimana rupa kedua orang tua dia. Dari dia kecil, Nina tinggal di panti asuhan. Masa kanak-kanak Nina, dia habiskan di sana.

Lalu, ketika umurnya menginjak angka 10. Nina diadopsi oleh Iskandar, laki-laki kaya raya yang kebetulan sudah tidak memiliki istri lagi dan hanya memiliki seorang anak laki-laki seusia Nina. Semenjak Nina diadopsilah, perlahan kehidupan Nina mulai berubah.

Kesempatan emas saat diadopsi orang kaya sama sekali tidak disia-siakan oleh Nina. Alih-alih terbuai seperti kebanyakan anak panti yang diadopsi, Nina malah memanfaatkan kesempatan itu untuk belajar banyak hal. Sampai, ia berhasil menjadi Nina yang dikenal sukses sekarang.

Lagi-lagi, kalimat Nina itu seolah muse bagi gue. Gue pernah dengar satu kalimat dari Nina yang sampai detik ini juga selalu gue ingat, "Lo nggak bisa milih lo mau terlahir dari siapa dan dari kehidupan kayak gimana. Tapi, saat lo tumbuh dewasa, lo yang jadi penentu mau jadi apa lo dan mau kayak gimana hidup lo.''

Tetapi balik lagi, setiap manusia itu pasti punya celah, termasuk Nina. Karena dari kecil dia tidak pernah melihat orang tuanya dan diadopsi oleh Iskandar yang sebenarnya mengadopsi Nina karena melihat potensi perempuan itu. Selain, ambisius dan percaya diri. Nina memiliki kekurangan dalam hal bergaul, dia bukan tipe yang mudah percaya orang lain sehingga itu yang membuat dia kesulitan dalam menemukan orang yang benar-benar mengerti dia.

Dan di sini, gue ada untuk dia. Gue selalu berusaha untuk mengerti dia, seperti yang gue bilang. Enam tahun kenal Nina, gue bahkan lebih kenal diri dia ketimbang dia sendiri.

"Mikirin apa sih lo, Dy?'' Gue mengerjap, seketika semua lamunan gue terganti saat mata gue teralih pada sosok yang sedari tadi gue bicarakan. Sosok yang sekarang sudah duduk di sebelah gue setelah berhasil menarik botol air mineral yang gue pegang.

Gue bertanya, mengalihkan pembicaraan dia tadi, ''Sudah selesai, Nin?''

Manik mata Nina melirik gue, meskipun dia masih dalam posisi menyesap air mineralnya. Barulah setelah botol air mineral itu, ia turunkan. Dia membalas pertanyaan gue. ''Dari tadi otak lo keliaran ya, Dy, sudah sampai mana aja,'' sindirnya sambil tertawa.

Gue menghela napas panjang, gue mengenal segala seluk-beluk mengenai Nina. Begitu juga dengan dia ke gue, dia juga tahu banyak hal mengenai gue. Otomatis dia tahu banget, kalau gue begong kayak tadi, berarti gue lagi mikirin sesuatu.

''Nggak ada apa-apa, Nin.''

Nina menatap mata gue lekat, seolah mencari sesuatu yang bisa ia gali dan sebisa mungkin gue membalas tatapan itu. Biar dia yakin.

Tak lama, Nina menghela napas panjang, ''Ya udahlah. Sekarang kita mau kemana, balik ke kantor atau ada jadwal lain?'' alih Nina. Sepertinya dia berhasil termakan tatapan gue, buktinya dia sudah tidak bertanya-tanya lagi.

Sebenarnya gue nggak perlu sih menyembunyikan apapun dari dia, toh, sejak tadi gue cuma lagi membayangkan aja sosok dia di dalam hidup gue. Tapi tak apalah, gue nggak mau membahas ini ke dia. Biar ini, jadi rahasia aja kalau selama enam tahun kenal dia. Gue merasa beruntung, bisa kenal dengan sosok setangguh dia.

Gue mengambil handphone, mengecek jadwal dia yang ada di handphone gue. Setelah berhasil memastikan, gue menjawab, ''Satu jam dari sekarang, ada meeting sekaligus lunch bareng sama pengusaha kerajinan kayu.''

Tanpa menunggu, Nina mengangguk, tanda ia mengerti.

Kami tidak membuang banyak waktu dan langsung berpamitan dengan crew acara itu, gue dan Nina langsung memilih pergi setelah itu.

Bersambung

Hai aku datang dengan cerita baru yang diadaptasi dari sebuah naskah seseorang.

1. Apa perasaan kalian setelah membaca cerita ini yang jauh banget dari cara biasa aku menulis?

2. Lanjut bab dua, yay or nay?

Salam, Bellazmr

Mantan MantenWhere stories live. Discover now