i. bangku kosong

65 13 5
                                    

if it's you, if it's you, if it's you
you come back to me.

- there's only one of you, nathan

ㅏㅓ

      Ada banyak hal yang masih menjadi pertanyaan untukku. Dari sekian banyaknya, yang berada di urutan teratas adalah, bagaimana rasanya jatuh cinta. Aku sering mendengar lagu-lagu yang bertemakan jatuh cinta dan mungkin aku hafal beberapa. Aku juga pernah dengar puisi tentang jatuh cinta, dan mungkin, aku punya beberapa bukunya. Aku juga sering diminta menjadi pendengar saat temanku bercerita tentang harinya yang indah karena sedang jatuh cinta. Dan untuk yang kesekian kalinya, aku masih tidak mengerti bagaimana rasanya. 'Apa aku pernah merasakannya?', mungkin saja. 'Atau bahkan tidak pernah sama sekali?', bisa jadi juga. Aku tidak tahu pasti. Intinya, aku belum mengerti apa itu jatuh cinta. Apa ini norma--

      "Disuruh revisi naskah malah ngelamun kamu tuh," ujar sebuah suara yang cukup membuatku terkejut dan terlempar kembali ke dunia nyata. Saat itu juga aku baru sadar kalau kelas sudah kosong melompong, menyisakan aku yang sendirian dan Pak Dika yang masih sibuk memeriksa tugas-tugas murid di meja guru.

"E-eh, iya, Pak. Nanti saya revisi, kok. Pak Dika nggak ke kantin?" Aku beranjak dari bangku, berniat melarikan diri dari pertanyaan lain yang mampu membuat bisu dan membuat otak keringat dingin. Naskah drama untuk klub teater belum juga aku revisi. Padahal hanya menyisakan waktu satu bulan untuk perbaikan. Jadi, daripada memperburuk keadaan hati dan pikiran, aku memilih untuk berjaga jarak dan menghindar dari Pak Dika; guru sejarah yang rautnya sok serius-misterius, dan sialnya, dia adalah penanggung jawab acara klub teater.

Pak Dika menggeleng kecil. "Saya bawa bekel dari rumah, buat apa ke kantin?" ucapnya datar sekaligus sinis. 'Oh, baguslah, Pak guru. Dengan begitu saya bisa menikmati waktu istirahat dengan lega tanpa menangkap wajah Bapak di hadapan saya', bisikku dari hati yang terdalam.

Aku mengambil beberapa langkah menuju pintu sambil berbasa-basi sedikit sebagai pengganti ucapan selamat tinggal. "Kalau begitu, saya duluan, ya, Pak--"

Namun suara itu memanggil namaku sehingga aku mau-tidak-mau berbalik badan. "Ada apa, Pak?" Tanyaku setelah membuang napas perlahan.

      "Kamu sudah tahu kalau Ale mengundurkan diri?" Saat pertanyaan itu terlontar, aku ingin sekali langsung bertanya memastikan kalau yang kudengar barusan hanyalah halusinasi. 'Kenapa bisa? Kok? Ada apa?' Segala pertanyaan yang memiliki inti yang sama bertebaran di otakku. Namun yang keluar dari mulutku hanyalah sebatas, "Oh, ya? Kenapa?" Sungguh pembohong besar.

"Katanya, kemampuan main gitar dia nggak begitu bagus. Dia nggak pede." Ternyata bukan aku saja yang pembohong besar. Ternyata lelaki itu juga. Bagaimana bisa lelaki seperti dia, yang jarinya hampir kapalan semua, permainan gitarnya biasa saja? Hanya orang bodoh yang akan percaya.

"Jadi, siapa yang bisa gantiin Ale?"

Pak Dika menggeleng tidak yakin sambil menaikkan kedua bahunya, "banyak. Tapi siapa yang mau? Itu yang harusnya dijadikan kalimat tanya." Tepat sekali. Banyak yang bisa tetapi mereka tidak mau. Alasannya sesimpel, 'gue nggak pede, Din.' Atau, 'duh, gue sibuk nggak bisa ikut latihan... Ada les soalnya.' Padahal maksudnya adalah, 'ih najis banget ikutan drama teater. Siapa yang mau mempermalukan dirinya sendiri?' Klise.

      Lagipula, ini memang kesalahanku sejak awal. Kenapa juga aku harus mengusulkan Ale untuk ikut? Alasan yang kupunya saat itu adalah, karena Ale murid kesayangan Pak Dika. Jadi, kemungkinan untuk Ale menolak itu kecil. Saat itu juga aku pikir Tuhan menakdirkan aku kembali bertemu dengan Ale dan Pak Dika sebagai jalan penghubungnya. Oh Tuhan, terdengar menggelikan, tetapi ini nyata. Sudah beberapa hari belakangan ini Ale bergentayangan di pikiranku. Berawal dari Ale yang menawariku duduk sebangku dengannya saat seminar bahasa dua bulan yang lalu, pikiranku jadi agak kacau sampai detik ini.

Sepai Sampai LunglaiDove le storie prendono vita. Scoprilo ora