PART IV

5 3 1
                                    

Kami bangun di pagi hari dalam kondisi ... tidak sehat, tetapi juga bukan berarti kami sakit.

Luka di tubuh Tono yang kemarin digigit ular sudah berangsur membaik berkat pertolongan pertama yang diberikan Doni serta istirahat semalam yang cukup untuk membuatnya sehat kembali. Akan tetapi, Tono belum dapat berjalan dengan benar—masih pusing katanya. Jadi, sebelum memulai perjalanan kami lagi, kami membagi giliran siapa yang akan memapah Tono untuk berjalan. Giliran pertama rupanya jatuh kepadaku.

"Kamu yang bawa Tono, bisa, 'kan?" tanya Yudha kepadaku saat aku sedang melingkarkan tangan Tono di pundakku. Yah, mungkin dia hanya ingin memastikan bahwa baik aku maupun Tono tidak akan mempersulit anggota yang lain. Mau bagaimanapun juga, kami semua berniat untuk selamat dari malapetaka ini.

"Bisa," jawabku yakin. Aku menoleh kepada Tono yang langsung tersenyum saat menyadari pandanganku. "Kami akan berusaha untuk nggak menyusahkan kalian."

Yudha menatapku khawatir, tetapi akhirnya dia mengangguk. Lagi pula, nanti toh kami akan memapah Tono secara bergiliran. Aku yang kebagian jadi orang pertama bukan berarti akan terus-terusan memapah Tono. Selain karena yang lain juga harus berbagi "kesengsaraan" yang sama, kami juga harus menghemat energi seoptimal mungkin jika tidak ingin tewas di jalan.

"Kalau begitu, kita mulai jalan sekarang," ujar Yudha sambil membalikkan badan lalu menatap jalanan sebentar. "Kita akan melanjutkan perjalanan dengan mengikuti jalan setapak yang ada. Kalian harus tetap di belakangku, juga harus tetap berada di jalur. Jangan pernah sekali-kali mencoba mencari jalan pintas dengan keluar dari jalan setapak, oke? Kita tidak tahu ada apa di sana, bisa saja lubang jebakan menuju sarang hewan buas, atau lebih parah lagi, jurang."

Kami semua spontan menelan ludah mendengar perkataan Yudha. Oke, aku berterima kasih karena dia tidak menutup-nutupi fakta mengerikan yang ada di sini dengan berkata bahwa kami akan baik-baik saja sampai tiba di luar hutan nanti, tetapi tetap saja, memangnya dia tidak punya kosa kata yang lebih enak untuk didengar? Misalkan dengan bilang bahwa supaya tidak mati, kami harus tetap mengikutinya di jalan setapak yang ada. Tidak perlu menjelaskan tambahan sarang hewan buas atau jurang segala, 'kan?

Ah, aku mulai melantur.

Yudha mulai melangkahkan kakinya, diikuti oleh Doni di belakangnya. Aku dan Tono berjalan bersama di belakang Doni, kemudian disusul oleh Sandi dan Indra di belakang kami. Yudha sengaja menyusun barisan agar aku yang memapah Tono berada di barisan tengah supaya jika terjadi sesuatu kepada Tono, Sandi dan Indra yang ada di belakang bisa langsung melakukan sesuatu. Kalau aku yang berada di belakang barisan, bisa-bisa saat kami berada dalam bahaya, kami malah semakin terjerumus ke dalam bahaya itu. Bisa-bisa kami tewas di jalan sebelum sempat menemukan jalan keluar.

Tewas ....

Benar juga, hutan yang tengah kami lalui ini alam liar, bukan kebun binatang dengan hewan yang dikandangi ataupun pohon-pohon bohongan. Semua ini asli, dan kami bisa saja mati digigit ular seperti yang nyaris terjadi kepada Tono kemarin, atau lebih parah lagi, jadi santapan kucing-kucing besar yang kelaparan. Lagi pula, daerah seperti ini, hutan tropis rimbun dengan banyak pohon-pohon besar dan semak-semak tebal, adalah habitat ideal untuk ...

"Harimau!" seru Tono, tetapi tidak cukup keras untuk didengar oleh yang lain, baik oleh Yudha dan Doni yang ada di depan kami, maupun Sandi dan Indra yang ada di belakang kami.

Nah, harimau. Itu dia maksudku.

Eh? Sebentar, tadi Tono bilang—
"Dimana?" balasku sambil menghentikan langkahku, membuat Sandi dan Indra sedikit memprotes aktivitas mendadakku itu. Aku mengabaikan mereka lalu mengedarkan pandangan ke sekitarku. Tak lupa, aku mengangkat tanganku yang bebas, meminta Sandi dan Indra untuk diam.

Army SelectionNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ