PART I

28 6 1
                                    

Sebenarnya menjadi seorang tentara, apalagi tentara swasta yang keberadaannya dirahasiakan dari negara, sama sekali bukan cita-citaku.

Akan tetapi, aku bisa apa? Jika kalian, seorang anak dengan keadaan ekonomi menengah ke bawah yang nyaris putus sekolah, tiba-tiba disodorkan sebuah kesempatan untuk menamatkan sekolah hingga sarjana tanpa biaya? Mana mungkin kalian mengatakan "tidak" untuk uang sebanyak itu?

Namun ternyata, beasiswa itu adalah beasiswa jebakan. Setelah mendapat gelar sarjana dengan sempurna, tiba-tiba saja seluruh hidupku serasa direnggut oleh ketidakberuntungan. Ibuku diculik, rumahku disita, bahkan ijazahku ditahan untuk beberapa waktu. Syarat kembalinya semua itu hanya satu: aku harus mengikuti sebuah ujian seleksi dan lulus dengan baik dari ujian tersebut. Jika gagal, maka aku harus mengucapkan selamat tinggal kepada tiga hal yang paling aku sayangi semenjak kami kekurangan uang.

Baiklah, aku tidak akan begitu khawatir jika ujian yang akan kuhadapi adalah ujian ilmu pasti semacam Matematika ataupun Fisika. Maksudku, begini-begini gelarku sarjana sains loh, kedua mata ujian itu sama sekali bukan sesuatu yang sulit untuk kuhadapi. Akan tetapi, bagaimana jika ujian yang akan kuhadapi adalah ujian fisik?

Bukan sekadar ujian fisik, melainkan ujian fisik yang ... sungguh, sungguh, mengerikan.

Tahu, tidak? Terkadang mati adalah pilihan yang lebih baik.

-oOo-

Pagi itu, aku beserta lima orang lainnya yang tampak bernasib sama denganku sudah berada di dalam sebuah ruangan kecil yang hanya terdiri dari kamar tidur dan kamar mandi. Kebetulan, saat itu aku bangun pertama kali, sehingga yang dapat kulakukan hanya melongo sambil memerhatikan sekitar.

Bagaimana aku bisa sampai di sini?

Seingatku tadi malam aku menumpang tinggal di rumah seorang teman kuliahku sebelum lulus. Aku ingat aku tidur di salah satu kamar tamunya, aku juga ingat bahwa aku sudah lelap dalam tidur saking lelahnya mengurus persidangan rumahku. Akan tetapi, aku tidak ingat bagaimana ceritanya aku bisa sampai di tempat ini. Apakah aku berjalan di dalam tidur? Rasanya tidak.

Aku bangkit dan merasakan sakit pada kepalaku. Astaga, apa yang sudah kukonsumsi semalam? Obat-obatan terlarang? Alkohol? Kenapa kepalaku ini terasa seperti baru saja mabuk selama dua belas jam penuh?

"Argh ...."

Aku mendengar erangan pelan dari sebelah kananku. Segera kutolehkan kepala dan kulihat sosok berkulit gelap dengan rambut gondrong itu baru saja bangun dari tidurnya. Dahinya mengerut saat ia berusaha duduk tegak. Sepertinya ia mengalami sakit kepala yang kurang lebih sama denganku.

Jangan-jangan kami diberi alkohol sebelum dibawa kemari? Itu sebabnya kami semua mengalami sakit kepala yang amat sangat?

Eh, tapi aku tidak mabuk saat bangun tadi. Lantas?

"Kau tidak apa-apa?" tanyaku dengan suara agak kecil, berusaha agar tidak membangunkan peserta yang lain.

"Oh? Hah?" Si kribo itu menoleh. "Oh ya, aku tidak apa-apa. Hanya sedikit sakit kepala."

Aku membalas jawabannya dengan anggukan pelan. "Siapa namamu?"

"Aku Doni," balasnya pelan. "Kau?"

"Namaku—"

BRAK!!!

Tiba-tiba saja pintu masuk kamar dibanting keras-keras dari arah luar. Aku dan Doni spontan menoleh dan menyaksikan seorang prajurit dengan seragam lengkap serta badan tegap tengah berdiri di depan pintu kamar kami. Dia mengangkat dagunya, mencirikan keangkuhan yang tak kuasa disembunyikan. Tanpa sadar, aku menelan ludah melihatnya.

Army SelectionWhere stories live. Discover now