PROLOG

29 8 1
                                    

"Kau akan pulang hari ini, Jae?" tanya Chandra, teman se-kost ku.

"Ya, tapi sebelum pulang, aku akan mengambil ijazah ku. Dan pulang memberi kabar yang menyenangkan kepada ibuku," ucapku dengan semangat.

"Rencana yang bagus. Tapi jika ijazah mu belum juga cair, apa kau akan tetap pulang? Karena kost ini akan dalam keadaan terkunci."

"Aku akan tetap pulang jika ijazahku masih bermasalah," ucapku yakin.

"Ku do'akan semua berjalan dengan lancar." Chandra tersenyum padaku.

Aku berterimakasih ke Chandra, lalu pamit. Sebenarnya, ini sudah yang ketiga kalinya ijazahku bermasalah. Aneh memang, tapi mungkin ini salah satu resiko menjadi anak beasiswa.

-oOo-

Jika aku tadi mengatakan bahwa sudah ketiga kalinya ijazahku bermasalah adalah sesuatu yang aneh, rupanya ada yang lebih aneh lagi. Tadi aku kembali ke kampus, dan lagi-lagi menelan kekecewaan. Lalu, aku bertemu dengan Adel. Ia sempat menanyaiku beberapa hal, sampai akhirnya, ia mengatakan kalau temannya yang juga mendapat beasiswa dan anak tehnik sepertiku, sudah mendapat ijazahnya sejak minggu kemarin. Perbincangan kami terhenti saat Adel harus kembali melakukan kegiatan di kampus.

Apa yang dikatakan Adel cukup aneh 'kan? Ah, semoga saja ibu tidak bertanya soal ijazah nantinya. Yang penting, sekarang aku harus ke terminal bis agar tidak terlalu sore saat sampai di rumah.

-oOo-

"Kampung Duku! Kampung Duku!" teriak kernet bis.

Tak berapa lama bis berhenti. Aku segera turun dan mencari jasa Yow-Jek untuk sampai ke rumah.

"Itu, Bang, rumah sebelah pagar hijau," jelasku sambil menunjukkan rumah yang aku maksud.

"Stop, Bang." Aku segera turun dan mengambil dua lembar sepuluh ribuan untuk membayar ongkos Yow-Jek.

Aku memasuki perkarangan rumah, lalu melihat ada sebuah papan tertempel di pintu ku. Disana tertulis kata 'DISITA'.

Disita? Oke, ijazahku sedang bermasalah dan sekarang malah rumah? Ini benar-benar tidak masuk akal. Aku menarik kesal papan tersebut kemudian jatuhlah sebuah map cokelat.

Aku memungut map tersebut, kemudian membukanya dengan paksa. Map tersebut rupanya berisikan potongan-potongan kata. Ini benar-benar aneh. Aku harus bertanya kepada ibu.

Tunggu sebentar. Dimana ibu sekarang?

Oh, iya. Mungkin di rumah Bu Anis. Aku segera pergi menuju ke rumahnya, ku ketuk pintunya dengan keras. Kemudian terbukalah pintu itu dan terpampang wanita paruh baya dengan balutan daster ungu. Setelah berbincang untuk sekadar basa-basi, aku menanyakan keberadaan ibu ke Bu Anis. Sayangnya, terakhir kali Bu Anis melihat ibu adalah tadi pagi, saat ibu ke pasar.

"Begitu ya, oke, terima kasih, Bu. Jika ada kabar tentang ibu, tolong hubungi aku." pintaku.

"Oh iya, Din, akhir-akhir ini ibu lihat ada mobil warna hitam berhenti di depan rumah mu."

"Mobil hitam?" tanyaku memastikan.

"Iya. Atau jangan-jangan Bu Arin diculik? Kayak di film-film gitu loh," celetuk bu Anis.

"Ish, ibu omongannya." ucapku dengan nada tak terima.

Bu Anis meminta maaf atas pikiran sinetronnya, lalu aku berterima kasih lagi dan mengingatkan Bu Anis untuk memberikan kabar tentang ibu. Setelah tidak memiliki urusan lagi, aku pun meninggalkan rumah Bu Anis. Malam ini aku harus mencari hotel murah untuk tidur sementara.

-oOo-

Aku memasuki kamar nomor 17, setelah diberi kunci dari resepsionis. Hmm, kamar hotel ini menurutku tidak terlalu buruk untuk ukuran hotel kelas menengah.

Aku menghempaskan bokongku di kasur. Pikiranku tiba-tiba melayang ke map cokelat yang tadi kutemukan di depan rumah. Aku mengambil map itu dari dalam tas dan mulai mengeluarkan isinya. Ada begitu banyak potongan kata, dan ini membuatku pusing. Tapi mataku tak sengaja menangkap tiga buah kata yang sekarang sedang berkecamuk dalam pikiranku yaitu Arini, Rumah, dan Ijazah. Setelah itu, aku mulai bergelut dengan potongan kata.

Aku menguap begitu lebarnya, kulirik jam dinding yang menunjukkan pukul dua belas malam. Tak terasa, aku telah menghabiskan waktu tiga jam untuk menyusun potongan kata yang akhirnya tersusun:

JIKA KAU INGIN ARINI, RUMAH, DAN IJAZAH KEMBALI, BESOK PUKUL TIGA SORE DATANGLAH KE ALAMAT: JALAN FLAMBOYAN NO.12, K-7. LALU KAU AKAN MENEMUKAN KUNCI K-7 DALAM POT BUNGA KAMBOJA.

-oOo-

Pukul setengah tiga sore, aku telah sampai di alamat yang ditujukan yaitu kostku sendiri. Aku memasuki kamar kost dengan waspada, tapi sepertinya semua aman. Merasa lapar, aku berjalan menuju kulkas dan berharap Chandra tidak menghabiskan semua makanan.

Untung masih tersisa satu buah mangga. Dan untungnya, buah mangga itu begitu manis dan sangat lezat.

Setelah selesai mengisi perut, aku membaringkan tubuhku diatas kasur sambil menunggu seseorang yang akan datang. Namun, lama kelamaan mataku terasa berat hingga rasa kantuk menyerangku dan aku pun tertidur.

Saat tidur, bukannya bermimpi, aku malah melihat diriku beberapa tahun yang lalu.

Ini sudah yang kesekian kalinya ... ibuku dipanggil ke sekolah.

"Kalau sampai bulan ini ibu menunggak bayaran lagi, kami mohon maaf, anak ibu harus kami keluarkan."

Kata-kata itu adalah ancaman yang kudengar dari kepala sekolah. Aku menelan ludah khawatir. Jika aku dikeluarkan dari sekolah, bagaimana aku bisa membahagiakan ibu dengan kepintaranku? Bagaimana aku bisa sukses di masa yang akan datang tanpa ilmu dari sekolah? Bagaimana?!

Ibu keluar dari ruang kepala sekolah tepat saat aku sedang menangis. Beliau memelukku lalu kami menangis bersama, membagi kesedihan bersama.

Kemudian seseorang menepuk pundak ibu. Ibu menoleh, begitu pula aku. Rupanya seorang pria tak dikenal dengan setelan pakaian mahal bonus kacamata hitam.

Siapa?

Pria itu tersenyum kepada ibu. "Saya bersedia membayar seluruh biaya sekolah anak Anda hingga sarjana hanya dengan satu syarat."

Ibu tidak menjawab.

Pria itu mengalihkan tatapannya kepadaku. "Nak, kamu ingin melindungi bangsa ini?"

Army SelectionWhere stories live. Discover now