4

12.8K 1.1K 9
                                    


Milan sekali lagi memeriksa gambar denah Kampoeng Vila-nya. Dia baru meeting dengan Pak Bagus Andarman beserta stafnya di Hyatt tadi. Seharusnya dia datang bersama Junior yang menjabat sebagai kepala pelaksana di proyek ini, tapi sahabat sekaligus koleganya itu harus kembali ke Jakarta untuk menghadiri pernikahan kakaknya. Dia tidak boleh melewatkan upacara itu dan Milan tidak bisa membatalkan meeting ini untuk membahas permintaan-permintaan beberapa klien Pak Bagus yang sebagian besar para pengusaha kaya dari Jakarta.

Milan menggeser kursi empuk berodanya mendekati rak buku besar yang menjadi latar belakang mejanya. Dia menarik salah satu buku dari sana dan membolak balik lembaran di dalamnya, aksinya terhenti sebentar karena tiba-tiba ada sesuatu yang menghinggapi otaknya. Dia menggerakkan tubuhnya lagi hingga kursinya kembali meluncur mendekati mejanya. Dia raih ponsel di atas mejanya.

Julia!

Dia tidak pernah menyangka bisa bertemu lagi dengan gadis itu di sini. Di Yogyakarta. Di kota yang pernah memberikan rasa pahit di hatinya. Seharusnya dia bersikap dingin saat bertemu Julia waktu itu. Apa yang membuatku justru begitu antusias mengenalinya saat itu? Milan membatin. Dia mengangkat tangannya dan menyentuh pipi kirinya. Entah kenapa rasa panas dan perih itu tiba-tiba terasa nyata saat ini. Julia pernah menamparnya. Di sini. Tangan Milan masih setia menempel di pipinya. Saat itu atas nama cintanya yang besar pada Julia memampukan dia menelan semua rasa perih dan juga malu yang luar biasa.

"Apa yang membuat aku dulu begitu tergila gila padanya?" Milan berkata pada dirinya sendiri. Tapi dalam hatinya dia tak bisa memungkiri Julia masih sangat menarik saat ini. Meski usianya sudah bertambah delapan tahun sejak terakhir dia begitu tergila gila padanya, meski hanya mengenakan kaus oblong ala kadarnya saat mereka bertemu waktu itu. Julia memang berubah kalau dilihat dari penampilannya. Dulu, saat kuliah, dia begitu feminin dan selalu terlihat cantik dengan apa pun yang dia kenakan.

Milan menatap nama beserta barisan nomor di bawahnya. Ada keinginan yang besar untuk bertemu lagi dengan gadis itu, tapi ada hal besar lain juga yang menahan keinginan itu. Gengsi dan harga diri! Milan menghela napas berat. Matanya menatap sekeliling ruangan kerjanya yang masih cukup berantakan ini. Sebelum Junior kembali dia harus bisa menata ruangan ini sebagaimana mestinya. Dia mencoba menyingkirkan pemikirannya terhadap Julia.

Milan beranjak menuju meja besar panjang yang di letakan di tengah ruangan empat kali empat meter itu. Dikumpulkannya beberapa kertas A3 yang bertebaran di atasnya dan menumpuknya di satu sudut. Ponselnya berbunyi. Dia dia kembali ke mejanya.

"Hei Jun!" sapa Milan. "Lu jadi balik besok?"

Dia terdiam sebentar.

"Baru bisa Minggu? Oke deh, nggak apa-apa."

"Iya...udah tadi di Hyatt. Oke...sampai ketemu Minggu." Milan baru hendak meletakkan lagi ponselnya, namun sebuah panggilan kembali masuk.

Lovely Nina tampak di layar ponselnya. Milan tersenyum kecil.

"Hai sayang!" sapanya.


***

Awalnya Julia sedikit enggan menemani Arin menyaksikan Korean Night di UGM karena harus menyelesaikan pekerjaan yang bertumpuk. Namun ia butuh Arin untuk mendengarkan kisahnya yang selama beberapa hari ini memenuhi batinnya dan membuat hidupnya sedikit tidak nyaman. Julia tak bisa menahan diri untuk tidak menceritakan pertemuan tak sengajanya dengan Milan di proyek. Sebenarnya Julia sudah ingin menceritakannya pada Arin sejak kemarin-kemarin,tetapi waktu itu entah kenapa Julia seperti tidak punya mood. Dia belum siap digoda habis-habisan oleh Arin atau ditanya macam-macam oleh sahabatnya itu. Namun, sepertinya malam ini adalah saat yang tepat.

Reaksi Arin? Matanya melotot kemudian seringainya muncul. Alhasil selama makan Bakmi Jakarta di dekat Galeria, Arin terus-terusan mengusiknya dengan pertanyaan seputar Milan. Dan terus-terusan berkata bahwa takdirlah yang telah mempertemukan mereka.

"Apa kubilang, Li. Beneran kan kalian ketemu lagi. Aneh ya?"

"Aneh apanya? Nggak aneh lagi. Yogya kan kecil lagian lingkungan kita kan sama. Sama-sama arsitek, ya wajarlah kalau kita bisa ketemu lagi."

"Iya aku tahu, cuma masalahnya kenapa kalian ada di Yogya di waktu yang bersamaan. Coba deh kamu pikirin." Arin nggak mau kalah.

"Udah deh nggak usah ngomongin Milan. Lagian udah berapa hari ini dia juga nggak SMS." Terselip rasa kecewa dalam kalimat Julia. Kata-kata ini tentu saja langsung membuat naluri iblis Arin bangkit.

"Tuh kan ketahuan, kamu juga ngarepin dia," todong Arin yang membuat Julia serba salah. Arin tertawa melihat mulut sahabatnya seperti terkunci seketika. Tawanya semakin menjadi melihat wajah Julia yang sedang bingung menyembunyikan perasaannya, dan membuat beberapa orang yang duduk di meja sebelah melirik ke arah mereka.

"Huss, kalau ketawa yang sopan, kulaporin mas Adam loh." ancam Julia berusaha keluar dari cengkaraman godaan iblis Arin.

"Idih...yang sedang dibahas disini siapa sih? Mulai deh mengalihkan topik!" Arin mencibir kemudian menyesap jeruknya. Beberapa detik kemudian dia kembali menatap Julia dan wajahnya menyeringai girang seperti baru saja menemukan jawaban kuis berhadiah miliaran.

"Nah, ketahuan!Jangan-jangan Milan udah mulai gentayangan nih di otak kamu. Hayo..." Arin semakin gencar menggoda Julia dan membuat gadis itu ingin membungkam mulut sahabatnya itu. Perempuan itu semakin bahagia melihat Julia terdiam tanpa kata. Sialan Arin! Benar juga...dia! maki Julia dalam hati.

DESTINARE   [Bisa Baca sampai Tamat di Akun Saya di Dreame]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang