Apalagi Lee Jihoon terlihat sangat begitu bisa diandalkan.

Selama ini Jihoon memang selalu bersikap sebagai teman yang penuh perhatian padaku. Tidak hanya mau mendengarkan curhatan mengenai masalah-masalahku, Jihoon juga selalu berusaha untuk membantuku menyelesaikannya, meskipun beberapa kali hanya melalui saran dan pendapatnya yang kadang kalau tidak dia sampaikan dengan nada tak acuhnya akan dia sampaikan dengan nada galaknya.

Dan selama ini, saat pertama kali aku datang ke asrama ini sampai dengan saat ini, usaha Jihoon dalam membantuku benar-benar terbukti dapat mengurangi beban masalahku.

Apa lebih baik aku menceritakan saja sesuatu yang mengganjal pikiranku saat ini pada Jihoon seperti sebelum-sebelumnya? Siapa tahu hal itu bisa mengurangi bebanku dan membantuku memandang masalah ini dari sudut pandang lain...

"Kau tidak harus menceritakan masalahmu padaku," ujar Jihoon lagi setelah hampir satu menit lamanya aku tidak juga mengeluarkan suara sedikitpun. "Aku tidak memaksamu untuk melakukannya. Aku hanya..."

Menghela napas lemah dua kali, aku kemudian menarik napas dalam-dalam dan berkata, "Jang Doyoon sudah mengetahui hubunganku dan Seungcheol," dengan sangat cepat sampai-sampai aku ragu apakah Jihoon dapat memahaminya atau tidak.

"...Hah?" Jihoon sedikit terbengong, berusaha memproses informasi yang kuberikan. "Oh!"

Oh?

Sial!

Apa Jihoon hanya akan memberikan 'oh'nya saja sebagai reaksi? Atau dia tidak begitu mengerti dengan apa yang aku sampaikan?

"Kemarin di sela-sela makan malam, Seungcheol memberi tahu Jang Doyoon bahwa..." jeda, aku mengecilkan suaraku supaya hanya bisa didengar oleh Jihoon. "...bahwa aku adalah pacarnya."

Untuk sekitar tiga puluh detik lamanya Jihoon menatapku dengan prihatin. "Apa semuanya berjalan dengan tidak baik? Maksudku apa reaksi Jang Doyoon terhadap hubungan kalian tidak seperti yang diharapkan?"

"Malah sebaliknya," sergahku, masih dengan suara yang pelan. "Jang Doyoon terlihat begitu tenang. Dia hanya terlihat sedikit kaget ketika mendengarnya. Jang Doyoon bilang kalau dia sudah dapat menduga dari awal mengenai hubunganku dan Seungcheol."

Jihoon mengernyit bingung. "Kalau begitu apa yang membuat mood-mu sejelek ini?"

"Power Bank."

"Power Bank?"

Membuka mulutku, aku hanya terdiam sebelum kemudian kembali mengatupkannya ketika melihat sekeliling meja kami yang semakin ramai dengan kehadiran penghuni asrama lainnya.

Menangkap sebuah tanda minta diperhatikan, tampak di seberang sana sedang mengantri di counter makanan bersama Seokmin dan Wonwoo, Seungkwan sedang melambai-lambaikan tangannya padaku, yang kemudian kubalas dengan senyuman lemah dan sebuah lambaian tangan singkat.

Kehadiran penghuni asrama lain dan ramainya kafetaria membuatku sedikit canggung serta bingung dengan bagaimana caraku menceritakan masalahku pada Jihoon.

Aku merasa tidak nyaman.

Mengikuti arah pandanganku, Jihoon menghela napasnya. "Apa kau sudah selesai dengan sarapanmu?"

"Hah?"

"Atau kau ingin menghabiskan apelmu di kamarku saja?" Jihoon kembali bertanya. "Kebetulan Soonyoung pagi-pagi tadi pergi bersama Chan."

Apakah ini sebuah kode?

" O-oke."

***

Suara deringan ponsel benar-benar mengusikku.

Bunga Iris dan TakdirWhere stories live. Discover now