Satu

38 0 0
                                    


Degup suara musik EDM menggema dalam ruangan remang dengan lampu kerlip yang menjadi titik-titik cahaya menyilaukan mata.

Tak lupa aroma alkohol dan nikotin yang kental membuat sesak pernafasan, bercampur aroma sex yang pekat menguar di udara malam yang dingin.

Itulah, khas sebuah kelab malam tempat Veranda Kiehl mengais sisa-sisa harapan di kejamnya dunia malam.

Untuk sebagian orang, akan berpikir negatif saat mengetahui, seorang gadis yang bekerja di sebuah kelab malam, yang pastinya hanya berisi orang-orang putus harapan, mencari kesenangan, sebuah pelampiasan, kenikmatan tak nyata yang bersifat fatamorgana, adalah seorang gadis nakal dan tak bermoral.

Mereka boleh beranggapan seperti itu.
Tapi tidak dengan Veranda Kiehl. Dia mungkin tidak seberuntung gadis-gadis di luaran sana yang bisa dengan mudah menjalani masa remaja nya dengan baik dan menyenangkan juga layak.

Dia harus bekerja paruh waktu untuk bisa membiayai kuliah juga hidupnya.
Bekerja di sebuah kelab malam adalah pilihan terakhir yang ia punya karena beberapa alasan, salah satunya adalah gaji yang cukup besar dan pekerjaannya yang tidak terlalu berat.

Masa remaja nya memang tidak baik. Bukan! Bukan tidak baik , hanya tidak efektif.
Tapi untuk kata 'layak' , dia selalu berjuang untuk mendapatkan itu, meski harus dengan usaha yang keras.

Mendapatkan gelar sarjana adalah sebuah kebanggaan sendiri untuknya, yang artinya perjuangannya tidak sia-sia selama ini.

Memperoleh pekerjaan bagus dengan gaji yang besar di sebuah perusahaan multinasional di bidang properti, sudah ada di depan mata nya.

Kini mendapat hidup layak , seperti keinginannya, tidak akan sulit ia gapai lagi setelah ini.

"Hey, jangan melamun saja!" pekik seseorang sambil menepuk bahu Veranda.

"Kau ini! Mengganggu saja," balas Veranda sengit.

"Kelab sedang ramai, ayo antarkan minuman ini di meja nomor 07," ucap seorang bartender sambil menyerahkan minuman bertulisan '1967' yang tak cukup Veranda mengerti minuman jenis apa, lengkap dengan gelas dan es batu nya.

Veranda mengangguk mengerti, dan segera menuju meja tersebut.

Dari kejauhan ia melihat beberapa orang sedang berada di meja tujuan nya.
Semakin dekat, ia semakin tahu siapa saja orang-orang itu.
Hanya segerombolan pemuda seperti biasa. Veranda sudah cukup hafal dengan mereka, karna memang sudah berlangganan dan menjadi tamu VIP di Roxy Club ini.

"Hai Ve, bagaimana kabarmu? Sudah lama kita tidak bertemu, ya?" sapa salah seorang pria berambut pirang dengan genit, sambil mengedipkan sebelah mata nya. Cih!

Veranda meletakkan botol minuman yang diletakkan dalam es batu dengan wadah besar, beserta gelas-gelasnya dari nampan yang dibawanya.

"Oh ya, sangat lama sampai aku sendiri muak melihat rambut jagung mu itu!" balas Veranda ketus.

Pria itu terkekeh mendengar jawaban ketus Veranda.

"Jangan begitu Ve! Kau tidak tahu apa, rambut jagung--yang kau bilang itu, menandakan kesuburan, karna sebentar lagi usaha pertanian milik keluarga Joe akan panen, dan menghasilkan banyak uang. Apa kau tidak ingin terciprat uangnya yang ber--ton-ton itu?" timpal pria berambut gondrong berwajah chinese dengan mata sipitnya.

Semua pria yang duduk disana terbahak dengan lelucon yang di lontarkan temannya itu, dan Joe hanya mendengus tapi juga ikut terkekeh pada akhirnya.
Veranda sendiri hanya memutar bola matanya, dan mendengus acuh.

"Bagaimana jika kau menemani kami duduk disini? Ayolah, kau tidak akan menyesalinya. Apalagi yang kau cari, kami tampan juga anak pengusaha terkemuka di negara ini," ucap Joe lagi.

"Ya benar! Ini kesempatan mu. Kau akan membuat iri para gadis di kelab ini." timpal yang lainnya.

"Oh aku tahu! Apa mungkin kau lebih memilih untuk langsung ke atas ranjang, baby?" lanjut seorang pria---anak seorang aktor senior ternama keturunan jerman, yang kini sudah mulai mengikuti jejak ayahnya. Antonio Maximilian. Sambil berdiri mencolek sedikit dagu Veranda.

Veranda segera menangkis tangan Antonio dengan cepat dan kasar.
"Dalam mimpimu, ashole!"

Teman-temannya hanya terkekeh melihat penolakan yang diberikan Veranda pada Antonio. Yang mana, itu pasti sangat melukai ego pria itu sebagai playboy papan atas yang akhir-akhir ini sering di beritakan sebagai aktor yang sedang naik daun.

Mereka membuat suara-suara kecewa yang dibuat-buat, untuk mendramatisir situasi tersebut.

Bersamaan dengan itu, suara berat seorang pria menginterupsi kekehan pria lainnya juga mengalihkan perhatian Veranda yang akan beranjak pergi.

"Sorry, teman! Aku harus pergi sekarang,"

"Hey Greyson! Hari masih sore, untuk apa pulang? Apa jam bermain mu sudah habis, hm? Atau ada rapat penting yang harus kau hadiri?" ejek pria lainnya bernama Ryan---cucu seorang anggota parlemen.

"Diam kau, bastard!" makinya kesal lalu pergi meninggalkan gerombolannya.

Teman-temannya hanya bisa terbahak. Sementara itu, Veranda masih memperhatikannya sampai ia hilang di telan dinding kelab.

Ketika ia mulai melangkah pergi dari sana, setidaknya ada tiga orang gadis berpakaian minim --mungkin hampir telanjang-- yang segera menghampiri para pria itu dan tanpa aba-aba langsung duduk di pangkuan mereka melancarkan cumbuannya dengan santai nya.

Iuuhh.. perut Veranda terasa mual saat itu juga dan ia mempercepat langkah kaki nya.

Pikiran Veranda melayang pada sosok laki-laki tadi.
Siapa dia? Batin nya.
Veranda tidak pernah melihatnya di Roxy Club.
Sekalipun itu bersama dengan teman-temannya.

Ah sudahlah! Untuk apa memikirkannya. Bukan urusannya. Pria itu bagian dari mereka, itu artinya dia sama saja dengan mereka.

Veranda menghembuskan nafas dengan kasar.

Mereka memang pria-pria yang tampan juga kaya raya.
Tapi, Veranda tidak pernah tertarik dengan pria-pria manja yang hanya mengandalkan kekayaan orang tua mereka saja.

Veranda tak habis pikir. Seharusnya di umur mereka yang sudah matang seperti sekarang ini, mereka sudah pantas untuk mengemban tanggung jawab, bukan hanya hidup foya-foya menghabiskan uang jerih payah orang tua mereka saja.

Huh! Bekerja di kelab malam membuatnya sedikit banyak mengetahui karakter pria-pria di luaran sana.
Terlalu banyak pria brengsek di zaman sekarang, dan Veranda harus berhati-hati jika ia tidak ingin tertipu dengan hanya penampilan luar mereka saja.

Itu sebabnya Veranda masih perawan, di umurnya yang ke dua puluh tiga ini.
Di saat semua teman-temannya sibuk berbicara dan berbangga hati karena sudah memberikan keperawanan mereka untuk cinta pertama mereka sewaktu masa sekolah menengah atas.

Namun tidak dengan Veranda, karna dalam hidupnya, ia punya prinsip jika ia akan melepas satu-satunya harta yang ia miliki itu hanya untuk pria yang benar-benar mencintainya dan mampu menggetarkan hatinya.

Tapi bukan berarti, Veranda tidak pernah jatuh cinta dan menjalin hubungan.
Ia pernah sekali jatuh cinta dan menjalin hubungan saat kuliah semester awal, dan itu dengan kakak tingkatnya sendiri.
Namun ternyata, setelah beberapa minggu menjalani hubungan, ia mengetahui jika kekasihnya itu seorang gay, dan akhirnya mereka berpisah dengan cara baik-baik.

Setelah itu, Veranda tidak pernah menjalin hubungan apapun dengan siapapun. Ia terlalu sibuk dengan kuliah dan pekerjaan paruh waktunya di kelab, dan ia tak punya waktu untuk itu.

Melirik jam tangan ditangan sebelah kirinya. Veranda menghembuskan nafas lelah, malam masih panjang. Tidak ada waktu untuk bersantai, karena malam ini pengunjung sangat padat mengingat ini malam minggu.

Huh! Ia janji dalam pada dirinya sendiri, jika ia sudah mulai bekerja di perusahaan properti itu, ia tidak akan sudi lagi bekerja di tempat kotor ini.
Tidak akan!

.
.
.
.
.
.
***

TBC
Mau lanjut?
Vomment please!!

Steal My HeartWhere stories live. Discover now