Aku tertawa terbahak-bahak, saat aku jatuh dari sepeda untuk yang kesekian kalinya, ini kali pertamanya aku menggunakan sepeda beroda dua. Ayahku yang membelikannya, Ibuku bilang ini adalah hadiah darinya karena aku telah menempati posisi pertama di kelas.
Sebagai tambahan hadianya Ayah berjanji untuk mengajarkanku bersepeda hingga aku bisa. Namun, hingga saat ini aku masih belum bisa menguasai sepeda beroda dua itu. Hingga Ayah harus beberapa kali berusaha menahanku agar aku tidak terjatuh dan terluka.
Sungguh sesosok Ayah yang luar biasa bukan? Dia adalah Ayahku, Pahlawanku dan orang yang selalu aku cintai. Dia sosok laki-laki yang selalu aku dambakan dan inginkan.
"Aku cape Yah." Aku menepikan sepedaku yang berwana biru muda itu dengan ketanjang di depanya, kemudian duduk si kursi taman mengusap keringatku yang membasahi wajahku. Ayah menghampiriku dengan membawa sepedaku, dengan tubuh tegapnya ia tersenyum lalu mengangkat sepedaku satu tangan. Luar biasa bukan? Dia selalu melakukan apapun untukku, tidak perduli dengan bebannya di tempat kerja, tidak perduli dengan lelahnya ia bekerja. Ia hanya akan menunjukan wajah bangga dan bahagianya di depanku.
Ayah meletakan sepedaku tepat di sampingku kemudian merentangkan tangannya meminta pelukan dariku, aku membalas pelukan tersebut, pelukan yang selalu hangat berada di dalamnya, pelukan yang selalu merasa terlindungi ketika berada di dalamnya, pelukan pahlawanku, pelukan superhero versiku.
"Masih mau main lagi?" tanyanya. Aku menggeleng, kali ini aku harus memilih cara lain untuk menghabiskan waktu bersamanya. Ayah menautkan alisnya mencoba meyakinkan yang aku balas dengan anggukan.
"Aku mau mancing bareng Ayah aja," kataku dengan semangat. Ayah menatapku tidak percaya lalu terkekeh saat aku mengangguk dengan yakin.
Aku akan memancing aku akan belajar menjadi anak yang menyenangkan untuk Ayah, aku akan berebut ikan dengan Ayah.
"Kalo gitu ayo kita pulang." Ayah bangkit dari tempat duduknya kemudian memunggungiku, dengan semangat aku menaiki punggungnya berpegangan erat ke lehernya juga menyembunyikan wajahku di lehernya. Aku akan selalu menginginkan ini Ayah.
******
Aku mulai beranjak dewasa, dan Ayahku beranjak menua. Aku benci saat aku berulang tahun karena dengan bertambahnya umurku maka semakin berkurang kesempatanku bersama dengan Ayah. Umur akan membunuh sisa umur manusia bukan? Entah aku atau dia yang akan pergi lebih dulu.
"Kakak, kakak mau dapet apa dari Ayah?" tanya Ayah yang tengah asik mencicipi teh buatan Ibuku.
Aku menempelkan telunjuku di daguku tanda bahwa aku sedang berpikir, pokoknya aku harus meminta sesuatu yang berbeda dari hari ulang tahunku yang seperti bisanya.
Ayah tampak memperhatikanku, menunggu jawaban dariku. Aku tidak akan minta sedikit uangmu Ayah, aku tau dia cemas jika aku meminta yang tidak-tidak seperti biasanya.
"Biasa aja sih liatinnya Yah," kataku sedikit kesal, Ayah hanya terkekeh menggelengkan kepalanya lalu kembali membaca koran terbarunya itu .
Aku mencoba berpikir kembali apa yang akan aku minta kepada Ayah, aku memang belum memikirkannya. Karena memang aku tidak memiliki keinginan seperti ulang tahunku yang biasanya.
"Ahh, Aku tau mau apa Yah." Aku menghentikan jariku senang karena telah mendapatkan sesuatu yang aku inginkan dan aku butuhkan.
"Apa?" tanya Ayah, Ayah menghentikan aktivitas membacanya, melipat koran tersebut beralih menatapku.
Lagi-lagi aku hanya mengulur waktu berniat untuk mempermainkan Ayah, Aku terkekeh saat melihat ekspresi kesal dari Ayah. Ahh dia ini, selalu saja membuatku kagum dan merindukannya.
