Debaran jantungnya membuat dada Raka sesak. Sebuah titik hitam jauh di hadapannya tampak membesar, memunculkan sosok mendiang sahabatnya. Raka melaung, menyuruh Jun untuk menyingkir namun tak ada suara apapun yang keluar dari mulutnya. Benturan tak bisa dihindari, kedua pemuda itu jatuh tersungkur. Terlihat wajah Jun sama seperti Jun yang ia temukan di kamarnya: tak bernyawa, tergeletak begitu saja. Mengerang, Raka tak kunjung berhenti berguling di jalanan menurun itu, membawanya tercebur ke dalam sebuah balong berisikan lendir yang lengket.

Raka bergerak sedemikian rupa, mencoba bangkit dari sana, tetapi tubuhnya tersasa begitu berat seolah-olah ada orang yang menariknya. Ia tersedot. Ia tenggelam. Paru-parunya bagaikan terbakar. Tersedak, Raka terjaga.

Wajahnya penuh dengan lendir. Tubuhnya penuh dengan lendir. Pemuda itu sadar bahwa ia terlelap setelah berhalusinasi melihat bayangan seekor gajah tak jauh dari tempatnya berdiri. Punggungnya terasa sakit setelah berbaring di atas semen dingin, tetapi lendir ini apa? Setelah ia berhasil mengumpulkan kesadaran dari tidurnya yang tidak tenang, napasnya tercekat, kakinya sakit bukan main.

Ia tidak tahu apa yang menindih kakinya itu. Kedua kakinya terasa sakit dan berat. Jika ia bergerak sembarangan, kakinya akan remuk. Apa yang harus Raka lakukan?

Laungannya begitu lantang ketika makhluk itu menekan-nekan tubuhnya entah dengan apa. Meskipun begitu makhluk itu tidak bergeming, dia terus mendesakkan apapun itu namanya ke seluruh tubuh Raka. Bagian yang telah disentuh makhluk itu terasa basah, tubuhnya lengket, dan Raka sulit untuk bergerak. Di sela-sela deru napasnya, Raka mengumpat. Takut. Ia sangat takut.

Susah payah Raka bangun dari posisi berbaringnya, menggapai tas ransel dan berguling ke sisi kiri setelah mencari waktu yang tepat. Ia dapat mendengar dengusan monster itu. Seperti sapi, tetapi lebih kencang dan menghasilkan angin yang membuatnya ragu untuk bergerak. Raka takt ahu berapa jarak antara dia dan makhluk itu karena lorong yang gelap. Raka merapat ke dinding, bergerak menjauhinya; tidak tahu apakah makhluk itu telah menyadari bahwa Raka tak lagi tertindih.

Sosok itu mendengus, menyelimuti bebunyian lain di lorong. Meskipun begitu, detak jantungnya terdengar seolah-olah ada seseorang yang mencabut organ itu dan mengarahkannya tepat di telinga Raka. Ia harap makhluk itu tak bisa mendengar detak jantungnya. Namun Raka menjerit cukup lantang barusan.... Seringai menghiasi wajah Raka. Mungkin hipotesanya salah, tetapi sepertinya makhluk itu tidak bisa mendengar. Patut dicoba 'kan? Raka menelan ludah. Ini mungkin bunuh diri.

Ia berlari. Langkanya menggaung seantreo lorong dan pemuda itu tertawa. Lega rasanya bisa kabur dari suatu bahaya, tetapi sayangnya hal itu tidak berlangsung lama.

Derap Raka disusul dengan derap kaki yang lebih berat, lebih lantang, dan lebih mencekam. Makhluk itu mengejar dari belakang bahkan lebih cepat! Raka berlari sekuat tenaga, tetapi kepalanya pening, napasnya pun mulai satu-satu. Ia bukan seorang olahragawan, pola hidupnya pun juga bukan pola hidup sehat. Siapa yang masih sanggup untuk lari cepat jika ia begadang setiap harinya? Tak bisa lagi Raka berpikir jernih. Ia sudah tidak peduli harus berbelok ke mana jika menemukan sebuah percabangan jalan. Ia hanya mempercayai insting.

Benar, insting.

Ia tidak peduli apakah jumlah azuline semakin banyak; ia tidak peduli kapan ia akan menemukan jalan keluar. Yang ia tahu, ia harus berlari sekuat tenaga, mengabaikan rasa sakit pada kaki brengseknya ini. Napasnya yang tersengal-sengal membuat Raka tidak bisa menjaga jarak dari makhluk itu. Alih-alih derap kakinya terdengar semakin dekat. Ini urusan hidup dan mati. Tidak lucu jika petualangan yang baru ia mulai langsung berakhir di sini.

Raka.

Kenapa suara itu muncul lagi di saat-saat begini? Berdecak, ia tetap berlari hingga mencapai persimpangan jalan dan mengambil jalur ke kiri tanpa berpikir dua kali. Pemuda itu tidak menyadari bahwa lorong bagian itu tampak lebih terang dengan cahaya biru azuline. Ia tersandung dan jatuh tersungkur menabrak tumpukan manusia. Ia tidak menyadari hal itu hingga ia melihat potongan tangan yang terkulai tak jauh darinya. Belum lagi dengan bau busuk yang menyeruak, Raka nyaris memuntahkan isi perutnya yang hanya diberi air sejak beberapa jam yang lalu.

Down There Is What You Called Floor [END]Where stories live. Discover now