BAB - 11 - SENDIRI ITU DINGIN

Start from the beginning
                                    

"Mungkin aku terlalu sakit hati padanya. Mungkin pula aku terlalu mencintainya. Mungkin pula aku terlalu kecewa. Bahkan kalau mau jawaban yang lain mungkin pula aku saat itu teringat kamu!"

"Tapi alternative terakir itu tidak mungkin,'' sergahnya sambil tersenyum.

"Ya...anda benar!" candaku sambil berpaling dan kini aku menghadapnya.

Aku berusaha menghibur diriku sendiri dengan mengucapkan kata-kata seorang presenter sebuah kuis di televisi itu, tapi dia kelihatannya dia tidak tersenyum sedikitpun dengan guraunku.

"Kenapa kamu ingin tau itu?'' lanjutku sesaat kemudian untuk memecah kesunyian.

"Apa kamu benar-benar mencintainya?" Am bertanya lagi.

"Ya," jawabku lirih.

"Apa melebihi cintamu padaku dulu?"

"Jawaban yang jujur atau asal?"

"Jawaban yang jujur!"

"Ya."

"Kenapa dia menikah lagi?"

"Aku tidak tau, mungkin dia telah jenuh denganku, mungkin pula dia ingin membahagiakan kedua orang tuanya."

"Kapan kalian menikah?"

"Dua tahun yang lalu."

"Dimana?"

"Disini."

"Apa orang tuanya datang?"

"Tidak, tapi mereka tau kalau kami menikah."

"Apa sekarang kamu rindu padanya?"

"Apa kamu akan bersedih bila sekarang aku pergi?"aku dengan tiba-tiba saja melontarkan pertanyaan itu dengan nada agak keras, mungkin aku sudah terlalu dongkol dengan semua pertanyaannya. Kulihat dia terdiam, lalu tanganku membelai rambutnya, "maaf ya...sayang, aku terlalu emosi bila mengingat itu semua, lupakanlah semua. Kini dia adalah dia, aku adalah aku dan kamu adalah kamu. Seandainya ada pertemuan diantara salah satunya maka semua yang terjadi adalah bukan sebuah rencana, mungkin itu adalah jalan yang harus kita lalui. Jangan pernah bersedih, kita diciptakan selalu berpasang-pasangan dan kita tidak bisa menetukan dengan seenaknya siapa pasangan kita!" ucapku diplomatis.

"Tapi kenapa kamu tidak suka membicarakannya?"

"Aku tidak tau, tapi aku masih ragu dengan suami barunya, dalam benakku selalu saja muncul pikiran-pikiran buruk tentang apa yang akan terjadi pada kehidupan mereka dan ada anakku diantaranya."

"Kenapa anakmu tidak kamu bawa kesini?"

"Seandainya saja boleh, dia pasti bersamaku saat ini."

Dia menatapku lalu merebahkan kepalanya kepangkuanku, aku tidak tahu apa yang sedang dipikirnya aku juga tidak tahu apa yang akan ditanyakannya setelah itu? Mungkin kami telah terbawa kedunia maya dimana kami bisa menjadi apapun yang kami inginkan, diam seakan kami adalah bongkahan batu yang tidak bernyawa. Sesekali hanya terdengar desahan nafas pelan laksana angin semilir yang berusaha merobohkan batu karang yang sangat kokoh. Seperti tetes embun yang ingin memadamkan kobaran api abadi yang tidak pernah mati. Namun bila aku ingin bercerita tentang hatiku ini, pada siapa? Seakan aku sudah tidak mampu lagi mengingat apa yang pernah aku alami, semua seakan telah melebur menjadi satu, menyatu dengan kebohongan yang kubangun bersama hayalanku yang sudah tidak terbendung. Suatu saat nanti masih adakah anak cucuku yang percaya dengan ceritaku, atau aku tidak akan sempat cerita lagi karena malaikat kematian telah menjemputku, atau barangkali aku akan segera terbaring dan terbujur kaku karena meneguk secangkir kopi yang telah kucampur dengan racun yang paling ganas, atau aku akan menjadi gila seperti kata teman-temanku?

Sendiri Itu Dingin - a novel by Endik Koeswoyo (FULL)Where stories live. Discover now