BAB - 10 - SENDIRI ITU DINGIN

42 2 0
                                    


Aku terdiam didepan pintu kamar, setelah tadi aku berbicara sebentar dengan seorang satpam yang agaknya sedikit curiga padaku karena masuk ketempat itu tengah malam begini. Cukup lama aku berdiri sendiri didepan pintu, kucoba meraih gagang pintu, dan ternyata pintu itu tidak terkunci. Dengan pelan aku membukanya lalu memasukkan kepalaku kedalam mengamati sekitar ruangan itu, sepi memang namun kulihat televisinya masih menyala walaupun dengan suara yang sangat pelan. Aku masuk perlahan-lahan, kulihat Am tertidur pulas, dengan pelan pula aku masuk kekamar mandi. Membasuh muka dan mencuci kakiku. Setelah itu aku keluar dari kamar mandi dan duduk dikursi yang ada disudut kamar itu. Lalu kuamati gadis cantik yang sedang tertidur, mungkin dia sangat lelah sehingga tidak terbangun saat aku datang. Saat kupandang wajahnya aku teringat seseorang yang sekarang mungkin sedang tidur pulas, seseorang yang pernah mengisi hari-hariku lebih dari lima tahun. Seseorang yang selalu menemani malamku lebih dari dua tahun. Seseorang yang pernah mengandung anakku selama sembilan bulan sepuluh haru. Seseorang yang pernah mendampingku dipelaminan sederhana. Dan seseorang yang pernah menangis didekapanku saat aku akan pergi, yach...dia adalah istriku. Tapi itu dulu sebelum kedua orang tuanya memaksa kami berpisah. Teringat pula saat aku harus menangis saat dia duduk dipelaminan keduanya, tapi bukan denganku lagi. Teringat pula betapa terasa panas ludah orang tuanya yang menghantam wajahku dengan sempurna. Teringat pula betapa kerasnya anakku menangis saat aku berpamitan dan menciumnya untuk yang terakir kali. Teringat pula senyuman bangga suami barunya yang sekan mengejekku.

Sudah cukup lama aku berkelana kembali kemasa laluku yang indah dan kemasa laluku yang sangat pahit. Mungkin itu semua yang membuatku seperti saat ini, lebih suka diam dan menyendiri menyambut datangnya malaikat kematian yang mungkin sebentar lagi akan menggiringku ke-neraka. Ingin rasanya aku membelai rambutnya yang sebahu itu. Tapi aku takut dia terbangun. Ingin pula rasanya mengecup bibirnya sebelum aku merebahkan diri disampingnya dan tertidur. Namun kutepis semua keinginanku itu dengan mengalihkan pandangan mataku ke layar televisi, kucoba melupakan semua yang ada di-otakku dan menghapus semua hayalanku dengan menikmati secangkir kopi yang sudah dingin dan sebatang rokok yang baru saja kunyalakan, walau itu akan sangat mengganggu kesehatanku yang memang sudah lama terganggu. Aku sempat terbawa kedalam dunia maya sebuah komedi yang aku lihat. Aku juga sempat tertawa sebentar namun otakku ini sepertinya telah terpaku kedalam hayalanku yang memaksaku untuk melihat wanita yang tertidur itu, namun aku cepat-cepat memalingkan wajah setelah melihatnya beberapa saat.

"Mas..." suara panggilan itu sangat mengagetkanku, lalu aku menoleh dan Am ternyata telah membuka matanya, "kapan datang?" lanjutnya sambil menarik nafas panjang.

"Sudah cukup lama," sahutku pelan.

"Kok aku tidak dibangunkan?" ucapnya manja.

"Sepertinya kamu sangat lelah, jadi aku tidak ingin mengganggu istirahatmu."

"Sini dong Mas!" kedua tangannya seakan memintaku untuk segera berada didekapannya, namun sepertinya ada yang aneh dengannya, kenapa dia memanggilku dengan sebutan itu? Tapi akupun mendekatkan diriku keranjang dan kedua tangannya melingkar dipinggangku.

"Kenapa Mas...ada yang aneh?"

"Tumben kamu memanggilku begitu?"

"Dari dulu aku memang ingin memanggilmu dengan kata itu, kemarin jugakan?''

Akupun tersenyum, menatap matanya sebentar lalu segera cepat-cepat kualihkan tatapanku itu karena tiba-tiba saja hatiku berdebar.

"Tidur lagi ya, udah hampir pagi!"

Diapun memposisikan diri untuk segera tidur, kedua tangannya tetap melingkar dipinggangku, akupun merebahkan tubuhku disampingnya, namun kedua mataku masih sangat sulit untuk dipejamkan, terus saja berkelana entah kemana, berputar-putar seperti gulungan benang yang kusut, tidak teratur dan sangat sulit untuk menemukan dimana ujungnya. Sebenarnya aku sadar bahwa wanita itu adalah istri orang, tapi entah kenapa aku tetap kembali ketempat ini dan sekarang memeluknya, kenapa aku tidak pulang dan tidur dirumah kontrakanku saja? Mungkin rasa bersalah itu yang membuat aku sulit untuk segera pergi kealam mimpi. Namun bila aku ingat akan anak dan mantan istriku apalagi mantan mertuaku ingin rasanya aku meniduri setiap wanita didunia ini, untuk mengobati rasa sakit dihatiku.

Kulihat jam dinding sudah menunjukkan angka Dua pagi, namun kemana perginya rasa kantukku? Kulihat pula gadis disampingku telah pergi kealam mimpi lagi. Tapi aku? Masih tetap disini dengan skenario busuk yang menjebakku dalam dunia lamunan. Berharap untuk segera pergi kealam mimpi dan bertemu dengan dewa perang, memusnahkan musuh-musuhku lalu aku bisa tertawa diantara bangkai-bangkai mereka, sebelum aku menikamkan pedang kedadaku dan roboh diatas mayat-mayat yang sudah mulai membusuk itu. Atau aku bisa menari-menari diantara amis darah mereka. Menikamkan lagi pedangku -dengan dua mata yang sangat tajam ini- ketubuh mereka yang tidak bernyawa. Namun lentik bulu matanya memaksaku untuk tersenyum, hitam rambutnya mebuat tanganku bergerak sendiri untuk membelainya. Sepertinya pagi benar-benar tiba...

Sendiri Itu Dingin - a novel by Endik Koeswoyo (FULL)Where stories live. Discover now