BAB - 2 - SENDIRI ITU DINGIN

542 12 0
                                    



"Sedetik lalu aku juga diam, saat segumpal awan hitam menyapaku walau agak enggan, setelah itu aku tetap diam. Gaya bahasaku kaku, ndeso, susah dipahami, namun aku suka. Jangan dulu berpikir kalau aku bukan mahasiswa berarti aku berada dibawahmu...."

Sepenggal kata itu mengawali pembicaraan kami, semula aku merasa bahwa 'gembel' itu paling tak lebih dari temanku yang sok tau, berlagak dan merendahkan orang lain. Apalagi cara dia menikmati sebatang rokok yang kuberikan beberapa menit lalu, angkuh.

"Ndak usah nanya berapa umur saya, alamat saya, suku saya, apalagi agama saya! Jangan ikut-ikut orang atas mas, omongan dan perbuatannya jauh berbeda, coba lihat saja, katanya ndak nyinggung SARA, nyatanya umur berapa? Alamat? Agama? Dan bla...bla...yang lain? Gimana mau damai kalau agama masih jadi label 'katepe', ndak usah heran kalau saya berani ngomong begitu, saya liar, angkuh dan sombong, tapi saya ndak lupa siapa saya? Saya juga pernah kuliah, pernah jadi tukang sablon, bikin spanduk, terakir saya..."

Lelaki yang umurnya tak jauh dariku itu diam, tak melanjutkan kata-katanya, seakan menunggu aku menyodorkan sebatang rokok lagi.

"Terakir saya terlibat beberapa kejahatan. Ya...tapi itu tak baik diceritakan."

Dia diam lagi, aku memposisikan diri untuk lebih dekat dengannya, memegang handycam merk ternama. Setelah kulihat lama dia diam kumatikan handycamku dan kusodorkan rokok lagi padanya. Apa yang ada dibenakku belum bisa terpecahkan oleh sedikit celotehnya tadi.

"Oke...kita lanjutkan lagi, dulu semasa kuliah aku paling depan saat ada demo, paling depan saat anak kampusku ribut dengan supporter basket saat pertandingan antar kampus. Itulah aku, walau aku tak ingin atau bahkan tak bercita- cita jadi preman tapi keadaan memaksaku untuk melawan nasib. Apakah kamu pernah punya niat nyopet dompet seorang nenek tua? Apa kamu pernah rasa laparmu terbawa kealam mimpi? Lapar mas...!?? Sering dulu saat aku merasa lapar aku tidur tapi sedetik mata terpejam aku bermimpi dapat makanan, lalu aku bangun karena bahagia ada makanan, ee...ternyata saking laparnya sampai aku hanya bisa mimpi, untung kalau dalam mimpinya makan, lha itu aku belum makan sudah keburu bangun he..he..."

Aku terdiam saat dia menceritakan itu, aku tau kalau rasa lapar memang bisa membawa kita kesegala arah jalan yang ada, minta, maling, ngrampok, bahkan membunuh hanya untuk sesuap nasi basi. Tapi kalau saja Tuhan tidak menciptakan hal semacam itu apa kita juga bisa makan...

"Anu mas ya...! Saya hanya ingin menceritakan sedikit saja lagi, itupun kalau mas mau mendengar, kalau tidak ya ndak apa-apa!"

Kemudian 'gembel' itu memposisikan dirinya agar tampak lebih gagah, membusungkan sedikit dadanya dan tatapan matanya seakan dipertajam beberapa watt lagi, aku hanya tersenyum dalam hati.

"Dulu mas...saat saya merantau ke Kalimantan, lalu ke Sumatara, nyebrang ke Batam dan Malaysia, saya mendapat banyak pengalaman. Pernah suatau hari saya bertemu beberapa orang yang mengaku cinta tanah air, cinta bangsa, bela Negara dan tetek bengeknya itu, hampir saja saya menjadi orang jahat."

Karena aku penasaran akupun lalu bertanya padanya.

"Kenapa mas?"

"Saat itu saya sedang butuh uang, seseorang datang dan menawarkan sebuah pekerjaan, cuma disuruh membuang sampah..."

"Sampah?"

"Iya...Sampah dalam kantong hitam, saat aku masih berpikir tentang berapa bayaran yang kudapat, beberapa orang berpakaian preman langsung menodongkan senjata dipinggangku, begitu pula dengan lelaki tadi, kami dibawa sebuah kantor, entah apa nama kantor itu? Karena saat berada dalam mobil mataku ditutup kain hitam. Saat penutup mataku dibuka sudah ada beberapa orang yang mengintrogasiku, akupun menjawab apa adanya, aku sempat kaget saat mereka memberitau bahwa bungkusan plastik itu adalah bom. Setelah dua hari aku dilepas begitu saja, tapi ya gitu, dengan mata tertutup aku dilempar dari mobil, itu kenangan pahit tapi menyenangkan, bahkan kain penutup mata itu sampai sekarang masih ada."

Sendiri Itu Dingin - a novel by Endik Koeswoyo (FULL)Where stories live. Discover now