11. Rival

56 7 2
                                    

Aku tidak yakin semuanya akan baik-baik saja. Awalnya aku ragu, tetapi, semakin aku berusaha yakin, ketakutanku semakin bertambah. -Oliv

                           ***

"Loh kok Oliv gak ada? Di line belum di read juga."

Tanpa pikir panjang, Axel langsung berlari menuju kelas Oliv. Sesampainya disana, keringat bercucuran di dahinya.

"Lo liat Oliv gak?" seru Axel pada gadis yang sibuk membaca buku bersampul tulisan 'BIOLOGI'.

Gadis itu pun menoleh dan mengangkat bahunya tanda tidak tau.

Axel masih diam. Tubuhnya bersandar pada pintu kayu bertuliskan 'X-mipa 2'. Bukan ia tidak ingin mencari Oliv, tapi ia memikirkan banyak tempat yang kemungkinan di datangi Oliv.

"Eh, tunggu," langkah Axel terhenti dan menoleh ke arah suara.

"Apa?"

"Gue baru inget, tadi dia ke kantin." kata gadis itu dengan mata masih menatap buku.

Tanpa pikir panjang, ia pun melesat menuju kantin.

Masih ada ya populasi anak kayak gitu. Cih, dasar kutu buku. Argh ngapain gue mikirin tuh cewek? Gak penting banget.

Cukup 3 kata saat Axel sampai kantin. Rame. Ribet. Capek.

    

                           ***

"Lo yakin cara ini berhasil?" pertanyaan yang sudah berkali-kali ia tanyakan. Ia berjalan mondar-mandir dengan perasaan gelisah.

"Iya lah, udah, cepet sana!"

Bukan karena dia malu. Ralat, malu, tapi sedikit. Bukan karena dia menyerah di awal, tetapi dia takut gagal. Takut semua tidak berjalan dengan lancar. Bukankah manusia memang selalu berangan-angan? Iya, tapi Tuhan punya rencana lain. Dia berjalan dengan perlahan, temannya menyuruhnya lebih cepat lagi.
Bodoh, gue grogi, gumamnya.

Saat beberapa langkah lagi, ia mengatur deru napasnya yang sangat cepat seperti saat dia di kejar-kejar oleh anjing liar.

Oke, lo bisa Rey.

"Jes, lo yakin dia gak akan marah?"

"Nggak lah Liv, udah lah jangan parno gitu. Semuanya biar gue yang urus, udah deh percaya sama gue."

"Iya deh iya. Ke kelas yuk? Udah mau bel nih."

"Ayo," ajak Jessy dengan menggandeng tanganku.

Saat mataku melihat ke depan, aku melihatnya. Meskipun jaraknya lumayan jauh, aku tau itu dia, dia adalah Axel. Dia tersenyum sangat manis kepadaku. Mungkin saja aku terlalu ge-er. Untuk memastikan, aku melihat kanan kiri. Tunggu, arah matanya benar-benar mengarah padaku.

Ah, sial, pipiku memanas.

Bersamaan dengan pipi yang semerah tomat, aku membalas senyumnya.

Aku melangkahkan kakiku. Hanya 2 langkah. Aku merasa seseorang telah menepuk pundakku. Wow, aku merasa ini sangat horor. Oke, sekarang aku sedang berkhayal tidak tidak. Aku segera menepis pikiran-pikiran aneh yang tiba-tiba melesat di otakku. Dengan mata sedikit memicing, aku menoleh ke arah tepukan tadi.

"Kak Rey?" mulutku ternganga. Aku tidak yakin itu benar-benar Kak Rey. Aku mencoba menepuk pipiku.

Aw, bodoh. Aku meringis kesakitan.

"Lo gak papa?"

Mungkin ini hanya perasaanku saja, tapi Kak Rey terlihat errrr khawatir?

"Gak papa kok Kak, santai aja." jujur, kali ini aku tersenyum kaku. Situasi ini benar-benar membuatku canggung.

Love, Hurt, and DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang