I'm the light blinking at the end of the road.

4.9K 406 59
                                    

Bagi seorang Juvenal Pratista, nggak ada yang lebih nikmat di dunia ini selain menghabiskan waktu sepulang sekolah sampai, entahlah, sepulang-pulang betulannya, untuk tidur di atas meja yang disusun tiga. Nggak ada siapa-siapa selain dia, embusan angin kecil dari mulut AC tua ruang kelas, juga dering notifikasi ponsel pertanda karakter gamenya sudah fully recovered dan siap dimainkan lagi. Biasanya June akan terbangun gara-gara suara itu, tapi kali ini beda.

Dia terbangun karena ada sesuatu yang menggoyang-goyang tangannya.

"Sssh, heh, Juvenal."

Suara cewek.

"June, bangun Jun."

Panggilan itu--June dari Juvenal--yang secara brilian diciptakan hanya oleh warga kelasnya setelah tujuh belas tahun dia dipanggil Juven, Venal, Tista, atau paling parah: Jupe, menuntut June untuk membuka mata. Muncullah di hadapannya wajah perempuan nggak asing dengan rambut dikucir kuda.

"Apaan?"

"Kelasnya mau dikunci."

"Oh."

Bunyi kaki meja yang berantukan dengan lantai keramik mengiringi proses bangkitnya June ke posisi duduk. Sambil mengucek satu matanya, mata lain June memperhatikan perempuan itu. Sekarang lagi memasukkan barang-barang dari laci meja ke dalam tas.

"Kenapa masih di kelas, Jun?" Tanyanya.

"Tidur."

Dia senyum. "Iyaa, maksudnya, ngapain tidur?"

"Ngantuk."

Percayalah itu bukan jawaban pasca-tidur selama tiga jam. Itu memang cara June menjawab semua jenis pertanyaan, kapanpun dan di manapun. Singkat. Nggak buang waktu. Nggak buang tenaga. Untung perempuan itu sudah maklum dengan pola bicara si mantan ketua kelas-yang terpaksa turun jabatan setelah tiga bulan karena dia, astaga, mager banget, meski June bukanlah tipe yang setiap hari dia ajak bicara.

"Lo sendiri ngapain?"

"Biasalah OSIS. Rapat mulu nih, bentar lagi pensi tapi persiapannya masih dikit banget. Oiya, lo dateng ya! Jangan kayak tahun lalu, sepi ga kaya pensi." Jawabnya beruntun sambil mengangkut tasnya untuk kemudian beranjak pergi, sementara June masih terduduk mengumpulkan nyawa. "Gue duluan ya Juuun!"

"Eh Dhana."

Dia menengok sebelum berhasil meraih gagang pintu. "Iya?"

"Ini jam berapa?"

"Jam enam."

"Lo pulang naik apa?"

Dhana menunjukkan sebuah kunci dengan gantungan Tinkerbell.

"Gue ikut."

"Ha?"

"Ke parkiran."

"Ooh. Yaudah? Yuk, keburu ujan."

June memerosotkan diri dari atas meja selagi Dhana masih menunggu. Nggak tahunya, setelah menyampirkan ransel ringannya ke satu bahu, June justru berjalan melewati Dhana begitu saja, juga melangkah menyusuri koridor begitu saja. Tanpa ajakan atau setidak-tidaknya kerlingan yang menandakan karena gue cowok dan cowok adalah pemimpin, jadi gue harus jalan duluan, oke?

Masih di ambang pintu, Dhana sukses dibuat termangu.

"Dhan?" June berhenti setelah beberapa meter jauhnya. "Ayook? Katanya tadi keburu ujan?"

Anehnya Dhana mengangguk saja, sebelum buru-buru mempercepat langkah untuk mendahului. Tepat ketika melewati June, ia menunjuk sudut bibirnya. "Itu, apus dulu." katanya, sedikit menyematkan senyum jenaka.

Nggak butuh waktu lama bagi June untuk tersadar dan bergegas meraih ujung dasi kedodorannya, lalu diusap-usapkan secara brutal ke pipinya yang ditempeli air liur. Entah kenapa cara Dhana mengingatkannya barusan membuat June yang sewajarnya masa bodoh jadi merasa malu. (Meski satu detik setelah itu, dia berusaha kembali stay cool.)

"Kenapa cewek kayak lo bawa motor sih?" Suara June menggema di antara dinding-dinding koridor. Dhana melirik sedikit ke belakang. June berjalan agak lebih lambat darinya.

"Cewek kayak gue tuh yang kayak gimana?"

"Yang, gitu deh, yang kalo ga sama sopir ya naik Uber."

"Haha, dari mananya? Lagian enakan naik motor tau, bebas bisa pulang kapan aja. Udah gitu kalo macet masih bisa nyelip-nyelip."

"Emang udah punya SIM?"

"Udahlah!" Dhana sumringah. "Asliii, nggak nembak."

"Iya lah. Lo cewek, mana mau nembak. Gengsi paling." Balas June sedatar-datarnya.

Tapi toh Dhana tertawa, dan June ingin berterimakasih sebanyak-banyaknya karena dia tertawa. Bahkan ketika June nggak ikut tertawa bersamanya karena peraturan nomor satu dalam hidup June: dilarang menertawakan lawakan sendiri. Itu sama sekali nggak keren. Selucu dan senggak lucu apapun lawakan lo.

"Followers Instagram lo berapa sih Dhan?"

Kening Dhana mengerut, "Kenapa gitu nanya followers Instagram?"

"Seribu nyampe nggak?"

"Hmm, nyampe sih. Ih, kenapa deh? Lo belum follow gue? Lo mau follow gue terus minta follow back ya?" Jarinya menunjuk-nunjuk ke arah June. Mukanya masih tidak berubah dari muka bangun tidur tadi. Dhana sampai curiga June memang kehabisan stok ekspresi.

"Engga. Gak cocok aja."

"Sama?"

"Ya followers lebih dari seribu tapi pulang naik motor. Nggak cocok, gila."

Sekali lagi Dhana tertawa renyah. Bukan karena lucu, tapi karena dia nggak menyangka kalau June punya cara bercanda seperti itu. Perawakannya yang tinggi, besar, dengan garis muka dingin membuat Dhana selalu ragu untuk mengobrol lebih dekat dengannya sejak pertama mereka bertemu di kelas sepuluh. Bahkan dari tiga puluh jumlah siswa sebelas IPA tiga, bisa jadi June menempati peringkat pertama laki-laki yang paling jarang diajaknya bersenda gurau.

Nggak tahu saja dia, kalau sebetulnya di sana, di balik jawaban-jawaban pendek dan matanya yang selalu berputar malas, June punya alasan tersendiri kenapa dia nggak pernah pulang tepat waktu. Kenapa dia memilih buat tidur di kelas sampai matahari diam-diam merangkak ke ufuk barat hanya demi melihat perempuan itu berjalan pulang dengan segerombol anggota OSIS melewati pintu kelas, seolah-olah melihat Dhana setiap hari di bangku ketiga terdepan tepat di bawah tertempelnya peta Indonesia nggak pernah cukup buat June. Juga seolah-olah pulang lebih dulu darinya adalah sebuah dosa besar.

Inginnya June mengelak, atau bohong pada dirinya sendiri karena sumpah, naksir orang itu nggak banget, tapi semenjak dia membantu Dhana yang bannya bocor awal bulan ini sampai mereka harus menghabiskan tiga puluh menit menuju malam di tambal ban terdekat berdua--berempat, kalau kamu hitung dua botol Fruit Tea dingin--June nggak sekalipun melewati harinya tanpa mencuri pandang ke arah Dhana. Baik ketika dia tidur di pelajaran Bahasa Indonesia, maupun ketika dia (terpaksa) antusias menghitung rumus besar gaya.

"Yang mana motor lo?" Tanya June ketika mereka tiba di lapangan parkir.

"Bukannya lo udah tau?"

"Lupa."

Honda beat putih keluaran 2013 dengan helm retro hitam bergambar Hello Kitty. Plat nomornya diakhiri oleh huruf DAH yang bikin June selalu ingat akan nama panjangnya; Dhayana Arum Hanjani.

Iya. Tentu saja June masih ingat yang mana.

"Yang itu, helm Hello Kitty." Dhana menunjuk dengan gantungan Tinkerbellnya, seolah mengiyakan suara-suara di dalam kepala June. "Motor lo mana?"

"Di sebelahnya."

"Lah, iya?? Hahaha kok bisa sih?"

Ya bisalah. Namanya juga satu sekolah, satu tempat parkir. Kalo motor gue sebelahan sama motor Indra Herlambang baru aneh, kan studio Trans TV jauh, jawab June dalam hatinya. Tapi tawa menyenangkan dari Dhana membuat dia jadi nggak tega.

Lagian bukan itu jawabannya.

Jawabannya, karena dia sengaja.

Time of TrialsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang