Part 3

32 8 0
                                    

"Di mana sekarang Pardan, Mak?" Tamin menyebut salah seorang temannya yang terkarib, teman mandi di kali, teman menggembala, teman bersama memancing ikan. Di sana, tengah ia berjongkok menghabiskan air pancuran dari bambu panjang, ia teringat akan teman - temannya seorang demi seorang.

"Engkau tak pernah dengar tentang dia jadinya!"
Itu adalag suara ibunya dari dalam dapur bersama Sumi yang telah membawa ayam potong.

"Itu telah bertahun - tahun yang lewat. Ia telah tak ada, Tamin! Ia pergi ke Surabaya pada zaman berontak, zaman perang melawan Nica. Tak lama ia pergi. Seminggu sesudah itu jenazahnya dibawa pulang. Tak ada orang kampung ini yang begitu dihargai waktu matinya. Orang kota banyak yang datang ke desa ini mengikuti upacara penguburan. Ramai sekali pada waktu itu, Tuan Bupati dan Tuan Wedana ikut datang menghormati jisimnya. Tidak.  Tidak ada yang lebih mulia dari pada dia dalam kematiannya. Nisannya masih dipuja orang sampai sekarang, setiap tahun."

Author's pov

Ucapan ibunya itu menghidupkan kenangan tentang kawan akrabnya. Bagaimana baik ia, bagaimana setia Pardan mengikutinya bermain, ke kali, ke ladang, ke kota jika musimnya menjual kayu bakar. Kini, teman pertama yang hendak ditemuinya telah tak ada. Ia mulai mengerti, tujuh tahun selama pengembaraannya ada pula perubahan yang dialami kampungnya.

"Engkau masih ingat Gamik?"

Itu adalah suara ibunya yang menggema lagi dari dalam dapur. Tamin tidak menjawab, ia membiarkan air pancaran membasahi kepalanya. Ia ingat anak yang disebut ibunya itu adalah teman akrab ke duanya, anak kerdil yang tak pernah bisa besar, pendek kedua tangan dan kakinya. Namun, wajahnya yang bulat menyenangkan, matanya yang tajam, mulutnya yang tak pernah diam dengan kelucuannya, apa pula yang telah terjadi dengan dia?  Lalu ia mendengar lagi suara ibunya dari dalam dapur.

"Tuhan Maha Adil, Tamin! Dalam kekerdilannya, ia memiliki jiwa yang besar. Ketika musim hujan seperti ini, serdadu Belanda datang mencari pemuda dan tentara ke kampung kita. Ia bersama keenam temannya melakukan peelawanan di sepanjang kali, di samping sawah Pak Banji. Belanda itu terlalu banyak, semua temannya bisa lolos, tinggal Gamik seorang diri. Ia ditemukan esok harinya di pinggir pematang, tubuhnya robek - robek oleh peluru bedil. Tak seorangpun akan melupakan peristiwa ini. Gamik menang, Tamin. Sebab waktu itu orang tahu, serdadu - serdadu Belanda mengangkut dua temannya ke dalam prahoto mereka sebagai korban."

Lalu bibir yang tua itu seperti tak mau berhenti. Kegembiraan yang meluap - luap dalam dadanya yang telah tipis itu, dalam mengalami kedatangan anaknya yang tersayang, tak dapat disumbatnya. Ia ingin bicara apa saja untuk anaknya. Satu per satu teman - teman Tamin diceritakan. Mawardi yang hilang di kaki Gunung Wilis sebelah tenggara, yang tak pernaj diketekukan mayatnya sampai kini. Dulmanan, anak yang gila bola itu telah kawin dan beranak, dan telah pindah ke kota. Imam, anak jangkung yang ikut mendampingi Gamik dalam setiap pertekpuran telah pergi jauh ke ibu kota, jadi Angkatan Laut. Dan satu per satu, wajah teman - teman itu jadi hidup dalam kenangan Tamin. Tamin bertambah mengerti kini, kampungnya telah mengalami banyak perubahan. Tidak dalam lahirnya, jalanan yang pernah dikenalnya jalanan itu pula, pendapa kelurahan tetap yang dahulu, perumahan tak banyak yang berubah, jembatannya, kalinya, sawahnya, masjidnua, semuanya adalah yang dahulu pernah dikenalnya di masa kecilnya. Namun, ada sesuatu yang telah berubah dan ia tahu itu terletak di dasar hati. Bukankah cara pengucapan ibunya itu menunjukkan adanya perubahan yang maha besar?  Siapa gerangan yang menanamkan pengertian dalam dada ringkih itu bahwa ada sesuatu yang patut dibela dengan pengorbanan jiwa, bagaimana ia dengan bangga mengucapkan nama - nama temannya yang telah mati dalam pertempuran dengan rasa hormat sebesar itu?  Ya, ada sesuatu yang telah berubah selama ia tinggalkan. Dan ia merasai, alangkah besarnya perubahan itu.

Tak terasa, akhirnya air yang memancar dari padasan bambu itu habis jua. Dikeringkan tubuhnya, ditinggalkannya tempat pemandian itu. Hari bertambah gelap. Tidak satupun bintang yang tampak. Dari puncak Gunung Wilis mendung tebal bergerak bergumpal - gumpal hitam sekali. Sesekali kilat memecah gelap dan jauh terdengar geluduk menjanjikan hujan. Sebentar angin bertiup, lalu tenang kembali. Udara dingin yang menyelimuti kampung mendahului turunnya gerimis.

"Engkau telah berjalan jauh, Tamin! Dan tidaklah sebagai orang pengembara, ia mengetahui banyak, mengalami banyak, dan mendapatkan pengertian - pengertian baru yang tidak ada dalam pengertian kita di kampung ini. Engkau tahu apa saja selama itu?" Kata ayahnya, sebagai sambungan sesudah mereka berebut  - rebut mendahului menceritakan keadaan kampung sejak Tamin tak ada. Seisi rumah duduk di atas tikar mendong tua, hidangan makan malam telah diuundurkan. Ibunya menyapu tikar dengan sapu merang, Sumi datang membawa seteko kopi dari belakang. Deru hujan bertambah kurang, cucuran air dari atap yang ditadah dengan seng tidak lagi ramai suaranya.

"Ya, Kang Tamin." Menyela Sumi.

"Kita sudah bercerita banyak, kini datang giliranmu. Ceritakan tentang negeri jauh. Orang mengatakan, wanita mereka melubangi dahinya dan mengisinya dengan intan yang berkilau. Benarkah itu?"  Tanya itu diantar oleh pandang matanya yang bening, tetapi punya banyangan yang jauh mendalam. Hitam sekali mata itu dalam cahaya tintir yang tidak begitu kuat.

♥♥♥

Tamin tersenyum seperti hendak tertawa, mengambil selembar daun jagung, digulungnya tembakau, dinyalakan dan diisapnya dalam - dalam. Ia seperti masih tak hendak memulai bicara dan adiknya mendesak, "Ceritakan lebih bagaimanana mereka berhias, cita yang disenanginya, dan bagaimana mereka memasak!"

"Aku pergi cuma sebagai heiho, Sumi. Kewajibanku berkelahi dan menembak (ps:bukan nembak cewek loh yaa), pengembaraanku di tengah hutan belantara. Aku tak pernah melihat mereka," sahut Tamin tertawa.

"Itu bohong!" Kata Sumi tertawa.

"Kau laki - laki, Kang Tamin. Mengapa kau tidak memilih satu dari mereka, membawanya pulang kemari, biar kampung ini bertambah kaya!" Ia tertawa lagi, lalu disusul tawa itu oleh ayah dan ibunya.

Entahlah, alangkah tajam seperti pedang ucapan yang sederhana itu menembus hati Tamin. Wajahnya berubah warna seperti darah diambil darinya dengan mendadak, dan tangan yang tidak tampak telah mengusapnya. Mata yang hitam itu sesaat kehilangan cahaya, ia memandang ke depan, jauh sekali pandang itu dan di hadapannya seperti melintas bayangan yang menyentuh rasanya. Akan tetapi tak seorangpun di hadapannya menginsyafinya, cahaya lampu tintir itu terlalu lemah.

"Biarkan dia bercerita menurut caranya. Itu akan lebih baik. Engkau minta yang bukan - bukan!" Kata ayahnya kepada Sumi.

"Negara apa itu yang telah kau datangi, Min?" Tanyanya kepada Tamin.

"Negara itu disebut Burma,  Ayah." Sahutnya serak.

Ayah's pov

Burma? Pernah satu kali rasanya kupingku ini mendengar nama itu. Berapa jauhnya dari sini..

♥♥♥

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 26, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang