Dua Kutub yang Sama (Bag.2)

20 2 3
                                    

“Eh, Markis?!” Deky terkejut ketika tau siapa yang datang.
“Maaf ya, kalo aku menganggu!.”
“Nggak apa-apa! Cuma nggak biasa aja.”
“Boleh kan, kalo aku jemput kamu dan barengan ke sekolah?” tanya Markis.
“Ya, boleh aja sih! Tapi apa nggak ngerepotin lo?”
Markis tersenyum. Giginya yang berderet rapi terlihat jelas. “Sekolah kita kan searah dan saling berdekatan.”
“Kalo gitu, lo sarapan dulu, yuk!” ajak Deky.
“Makasih! Aku udah sarapan di rumah. Kamu aja yang sarapan. Aku nggak  apa-apa nunggu.”
“Gue nggak biasa sarapan divrumah, yang saban hari menunya itu-itu aja. Kalo nggak nasi uduk, pasti nasi goreng. Gue sukanya sarapan di kantin sekolah. Ngopi sambil makan pisang goreng, sambil ngecengin cewek-cewek cakep di sekolah,” Deky nyengir.
Markis menahan tawanya. “kalo gitu, kita berangkat sekarang?”
“Oke! Kebetulan gue giliran tugas pagi. Tapi pamit nyokap dulu ya!” Deky mencari Ibunya.
Bu Rahma muncul dari ruang tengah. Deky mencium tangan Ibunya. Markis ikut menyalami Bu Rahma.
“Deky berangkat dulu ya, Bu!”
“Pamit dulu, Tante!”
“Hati-hati di  jalan, ya!” pesan Bu Rahma sambil mengantar Deky dan Markis sampai di pintu pagar.
Sedan metalik milik Markis pun berlalu. Deky masih sempat melambaikan tangan pada Ibunya. Bu Rahma dengan senang hati membalas lambaian tangan anaknya.
“Kak Deky udah berangkat, Bu?” tanya Rasti.
“Sudah! Baru saja,” jawab Bu Rahma.
“Itu tadi temannya Kak Deky, Bu?”
“Sepertinya begitu. Kok kamu tanyanya begitu?”
“Abis, Rasti baru lihat sih, Bu! Kayaknya baru pertama kali ke sini deh, Bu!”
Bu Rahma mengangguk. “Memang benar. Kenalannya saja baru semalam.”
“Baru semalam…?” mata Rasti melotot. “Gimana ceritanya tuh, Bu?”
“Katanya sih, Deky nolongin anak itu yang sedang dipalak preman kampung di dekat pintu masuk kompleks.”
“Berarti semalam Kak Deky berantem lagi dong, Bu? Ibu Nggak marahin Kak Deky?”
“Kamu kan tahu kakakmu itu banyak alasannya. Katanya sih, berantem untuk nolongin orang hukumnya wajib.”
Rasti tersenyum nakal. “Tapi nggak apa-apa sih, Bu! Abis, yang ditolongin Kak Deky keren juga sih, Bu! Siapa tau jadi pacar Rasti. Boleh kan, Bu?”
“Hus! Kamu ini ada-ada saja! Cepat kamu berangkat sekolah. Nanti kamu terlambat lagi.
                             *              *              *
Pak Sartoyo dan Bu Marlina sedang menyantap hidangan paginya.
“Markis nggak sarapan, Bu?” tanya Pak Sartoyo pada Istrinya.
“Kata Bi Inah, Markis udah berangkat, Pap!”
Pak Sartoyo manatap Bu Marlina. “Tumben. Coba tanya pada Bi Inah.”
“Bi Inah…!” panggil Bu Marlina. “Tolong kemari sebentar!”
Seorang perempuan tua dengan tergopoh-gopoh menghampiri orangtua Markis. Umurnya sekitar 40 tahun. Rambutnya sudah banyak ditumbuhi uban.
“Ada apa, Bu?” tanya Bi Inah sopan.
“Jam berapa Markis berangkat ke sekolah?”
“Jam setengah enam, Bu!”
“Bukankah baiasanya Markis berangkat sekolah jam setengah tujuh?” tanya Pak Sartoyo.
“Mungkin Markis takut macet, Pap! Biasa kan kalau hari senin. Apalagi sekolah Markis cukup jauh,” bela Bu Marlina. “Semalam Markis pulang jam berapa, Bi?”
“Jam setengah dua, Bu!” jawab Bi Inah takut-takut.
“Jam setengah dua…? Darimana saja anak itu?” Pak Sartoyo menjadi gusar.
“Bi Inah nggak nanya, Markis darimana?” sambung Bu Marlina.
“Saya segan, Bu! Takut dikira ndak sopan dan sok tahu.”
Bu Marlina geleng kepala. “Bi Inah! Bibi sudah kami anggap keluarga sendiri. Bukankah Bi Inah yang merawat dan mengasuh Markis selama ini? Jadi kami mohon, Bi Inah ikut mengawasi Markis.”
Bi Inah hanya mengangguk. Dalam hatinya, Bik Inah sangat terharu.
“Bi, Nanti siang kami akan ke Surabaya. Mungkin kami di sana dua atau tiga hari. Tolong sampaikan ke Markis!” Pinta Pak Sartoyo.
“Sekalian Bi Inah bilang ke Markis, uang jajan sudah ada dilaci kamarnya. Kalau kurang, nanti kami transfer,” tambah Bu Marlina.
“Baiklah, nanti saya sampaikan pada den Markis, Tuan! Nyonya!”
         *                   *                   *
Koridor SMU Harapan Bangsa sesak oleh Penghuninya. Biasalah kalau jam pulang sekolah. Semua siswa-siswi berebut untuk keluar duluan. Tampak Deky dan Rian jalan beriringan.
“Ky, sebelum pulang, cuci mata dulu, yuk!” ajak Rian.
“Hari ini gue nggak bisa. Gue ada janji.”
Mata Rian terbelalak. “Janji dengan siapa lo? Dengan cewek baru?”
Deky menjitak pelan kepala Rian. “Cewek mulu yang ada di otak lo! Gue janji dengan teman cowok.”
Kali ini mulut Rian yang mengangga lebar. Gajah aja bisa masuk. “Aaaahh…! Apakah sekarang selera lo mulai berubah? Kayaknya mulai sekarang, gue harus jaga jarak nih ama lo.”
“Busset dah…! Gue masih normal tau! Lagian kalo gue hombreng, tujuh turunan gue nggak bakal naksir lo. Udah jelek, item, keriting, norak…”
“Stop stop…!” Rian meremas mulut Deky. “Biar lo kate gue kayak gini, buktinya lo demen lama-lama dekat gue.”
Deky nyengir. Benar juga sih kata Rian. Nggak terasa, hampir tiga tahun ia dan Rian bersahabat.
“Pantesan aja seharian ini lo digosipin. Katanya tadi pagi, lo diantar sedan mengkilap.”
“Mumpung ada kesempatan. Daripada nebeng motor butut lo, saban hari mogok mulu.”
Rian sewot. “Lo jangan sembarangan ngomong. Butut-butut gitu punya sendiri. Lo jangan sentimen dong, karena semalam lo nggak gue antar pulamg.”
Waduh, kumat lagi cucakrowonya, gumam Deky dalam hati. Rian itu kalo udah ngomong, nggak mau berhenti. Dan seperti biasa, Deky pasti memilih diam. Malas ngeladeni Rian.
“Eh, gue udah telat nih! Gue cabut dulu, ya!” Deky langsung ngacir meninggalkan Rian yang masih sewot.
Rian terkejut. “Hey, jangan main tinggal aja, Dong! Emang daku cowok apaan…?”
Deky menoleh sekilas sambil terus berlari-lari kecil. “Sorry Men, gue buru-buru!”
“Jangan Lupa, salamku untuk Rasti!” teriak Rian. Deky hanya mengacungkan jempolnya.
                                                                   ***
Di pintu gerbang sekolah, Deky celingak-celinguk. Sepertinya Deky sedang mencari seseorang.
“Udah lama nunggu, ya?” tiba-tiba Markis nongol.
Deky nyengir. “Baru aja. Emang mobil lo parkir dimana?”
“Tuh, di belakang truk gede!” tunjuk Markis.
Deky nyengir lagi. Nih anak emang doyan nyengir. “Pantes nggak keliatan.”
“Berangkat sekarang?” tanya Markis.
“Oke…”
“Kamu udah makan?” tanya Markis saat sudah berada didalam mobil.
“Belum!” jawab Deky sedikit malu-malu.
Markis tersenyum. “Kalo gitu, aku traktir makan. Kamu mau makan di mana?”
“Eh, nggak usah!” Deky kelabakan.
“Nggak apa-apa! Semalam kamu udah nolongin aku. Coba kalo nggak ada kamu? Udah habis-habisan aku dikerjain preman-preman itu.”
Deky mengibaskan tangannya. “Jangan dipikirin, dong! Gue nolongin lo ikhlas, tanpa pamrih. Suwer!”
“Iya, aku ngerti. “Kalo gitu, aku mentraktirmu juga dengan ikhlas. Kita impas kan?’
Deky angkat bahu. “Oke, terserah lo aja lah!”
Markis tersenyum. “Aku punya tempat makan yang asik. Kamu pasti suka!”
         *                   *                   *
Kriiing…Telpon di rumah Markis berdering. Bi Inah dengan tergopoh-gopoh menghampiri meja telpon.
“Halo? Selamat siang! Dengan keluarga Bapak Sartoyo di sini. Mau bicara dengan siapa?”
“Bisa bicara dengan Markis, Bu?”
“Den Markisnya belum pulang sekolah. Dengan siapa ya?”
“Dari temannya.”
“Namanya?”
“Jay…!”
Ada pesan? Nanti saya sampaikan.”
“Tolong bilangin ke Markis, saya mencarinya. Kalo sempat, nanti saya telpon lagi.”
“Baik, nanti saya sampaikan.”
“Terima kasih!”
Klik
         *                   *                   *
Deky dan Markis memilih duduk disalah satu sudut kafe Fantastik di jalan Fatmawati. Siang-siang begini, Pengunjung kafe cukup rame. Sebagian besar adalah orang kantoran yang sedang istirahat dan makan siang. Alunan musik yang lembut, mengalun ke seluruh ruang kafe Fantastik yang didesain sangat elegan itu.
“Lo sering makan di sini?” tanya Deky. Matanya jelalatan memandang tiap sudut-sudut ruang kafe.
“Kafe ini salah satu tempat favoritku di Jakarta,” Markis menyedot jus jeruknya. “Kalo kamu sering nongkrong di mana?”
Deky nyengir. “Kalo gue sih, gak pernah ke tempat-tempat mewah kayak gini. Paling gue nongkrong di kantin sekolah atau warteg bareng si Rian.”
“Siapa Rian?” tanya Markis ingin tau.
“Oh, dia itu teman sekolah gue. Orangnya rada-rada gokil. Untung tadi gue nggak ngajak dia. Bisa norak abis. Tapi sebenarnya dia baik. Nanti deh, gue kenalin Rian ke elo.”
Mulut Markis hanya membulat. “Dimakan tuh, nanti keburu dingin!”
Deky mengangguk. “Lo tinggal di mana, sih?”
“Di pondok indah.”
Deky berhenti mengunyah makanannya. “Pondok  Indah? Udah gue kira, lo pasti anak orang kaya. Pasti hidup lo enak banget.”
Markis tersipu. “Biasa aja. Tapi tetap ada juga nggak enaknya. Aku sering kesepian, karena orangtuaku selalu sibuk. Aku ini aku anak tunggal. Kedengarannya klise, ya?”
“Sorry, kalo perkataan gue membuat lo sedih!”
Markis menggeleng. “Nggak apa-apa! Kamu ada solusi nggak mengatasi masalahku ini?”
Deky terdiam sejenak. Itu tandanya ia lagi berpikir. “Kayaknya lo mesti cari pacar,” jawab Deky asal. “Emang, lo udah punya pacar?”
Markis tidak menjawab pertanyaan Deky. Tiba-tiba wajahnya yang cakep dan bersih terlihat murung. Sepertinya ia jadi teringat sesuatu.
“Markis! Lo melamun?” Deky menepuk bahu markis.
Markis tersentak. “Eh…oo…Tadi kamu ngomong ?”
Deky Nyengir. “Hari gini, siang-siang bolong, masih melamun juga? Tadi gue nanya, lo udah punya pacar belum?’
“Belum. Kamu?”
“Kita senasib. Berarti kita termasuk JBLLJ, dong!”
“JBLLJ? Apaan tuh
“Jomblo belum laku-laku juga hahaha…” Deky ngakak.
Dan untuk pertama kalinya, Deky melihat Markis tertawa lepas.
                    *                           *                             *
Jam setengah enam sore, Markis baru tiba di rumahnya. Di depan pintu gerbang rumahnya yang mewah, ia membunyikan klakson. Seperti biasa, Bi Inah yang datang membukakan pintu.
“kok sepi, Bi? Papa dan Mama ke mana?” tanya Markis setelah memasukkan mobilnya ke dalam garasi.
”Ke Surabaya, Den!”
”Berapa lama?”
”Katanya sih dua tiga hari, Den!”
Markis menghempaskan tubuhnya ke sofa ruang tamu. ”Ada pesan untukku, Bi?”
”Kata Ibu, uang jajan Den markis sudah disiapkan di laci meja kamar. Kalo kurang, nanti Ibu transfer lagi.”
”Ya, udah! Aku mandi dulu, Bi!” Markis bangkit dari duduknya dan bergegas menuju kamarnya di lantai atas.
”Den markis ndak makan dulu?’
”Tadi aku udah makan di luar. Beresin aja meja makannya!”
”O iya Den, tadi ada temannya yang nelpon.”
”Siapa?” Markis menghentikan langkahnya dan menoleh pada Bi Inah.
”Namanya Jay!”
Markis sangat terkejut. Wajahnya berubah pucat. ”Jay...? Apa katanya?”
”Dia nyariin Den Markis. Katanya, nanti dia akan menelpon lagi.”
Dengan langkah gontai, Markis menapaki anak-anak tangga menuju kamarnya.

Dua kutub yang SamaWhere stories live. Discover now